Pemberitahuan

Laman Sastra-Ku sedang dalam proses perbaikan, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Namun demikian, karya-karya tetap akan ditampilkan secara rutin.

Jumat, 24 Oktober 2025

Karya Edisi 10/25-4

 

MASKER AJAIB

Cerpen Gil Ragil

 

        Pagi ini aku harus membeli sarapan lagi yang kali ketiganya di tempat Mbok Mesem, istriku Siti sudah tiga hari ini kurang enak badan minta untuk dibelikan bubur. Penyakit langka kata dokter, wajahnya mati separo bahkan untuk berbicara saja nampak kesulitan. Juga disertai asmanya yang kadang kumat.

        Ku lihat Mbok Mesem sibuk melayani pembelinya sambil asik membicarakan sesuatu.

        “Asik sekali, ngomongin siapa sih Mbok?”

        “Sumi, tetangga barumu itu lho.”

        Rupanya sedang membicarakan Sumi, tetanggaku yang baru saja pulang dari perantauan. Penampilan sehari-harinya cukup mengejutkan beberapa warga dusun yang masih belum terpapar perilaku metroseksual, yang jika ke luar rumah memakai pakaian kurang bahan menjadi hal biasa untuk orang kota. Itulah yang membuat Mbok Mesem nyerocos tanpa henti apalagi jika sudah mengomentari solekannya yang terlalu menor, bahkan untuk sekadar pergi ke warungnya untuk membeli sarapan.

        “Malah bisa buat hiburan di sini kan Mbok? Hahaha” kelakar salah satu pria muda yang memakai seragam serba coklat.

        “Tempat cuci tangannya masih belum di pasang to Mbok?” lanjutnya lalu menyuap sesendok terakhir menu soto nya. Mbok Mesem hanya diam, meski pemerintah telah menganjurkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan seperti harus menyediakan tempat cuci tangan dan memakai masker, namun di warung Mbok Mesem sepertinya tidak mempan dengan anjuran itu, Mbok Mesem dan anak buahnya dengan acuh bernafas lega tanpa ada sedikitpun rasa khawatir dan peduli ketika Pak RT ataupun Pak Lurah sekalipun datang untuk memberi peringatan.

        Memang di depan orang yang disindirnya Mbok Mesem tidak berani untuk berkomentar langsung, bukan tidak berani, namun lebih menjaga kenyamanan dan enggan untuk kehilangan pelanggannya karena dinilai terlalu mengurusi penampilan orang.

        Pembahasan yang serius diselingi dengan kelakar ringan dengan tawa yang disambut oleh seorang pemuda, mungkin anaknya.

        ”Aku lebih memilih wajah yang oriental.” kataku sambil menyomot beberapa bakwan yang baru saja ia angkat dari wajan yang masih mengepul.

        ”Iya, akupun begitu. Percuma wajahnya ayu tapi njewewek (cemberut).”

        ”Betul, tapi juga ada yang wajah aslinya memang hitam tapi manis, seperti Siti”

        ”Halah, yang ada juga lehernya hitam seperti mucikari. Eh gimana kabar Siti? Sudah sembuh belum Dul?”

        “Sudah bisa mulai makan Mbok, sedikit-sedikit tapi selaranya sama masakanmu saja Mbok.” lirikku pada mulutnya yang ikut njewewek, ternyata kedatangan Mang Kardi si marketing eksekutif dari koperasi untuk menagih angsuran bulanan Mbok Mesem yang tak kunjung lunas.

        “Sudah seperti mucikari Mbok mulutmu itu.” lanjutku sambil tertawa kecil.

        Disusul dengan gelak tawa seluruh laki-laki yang rata-rata sering sarapan sebelum berangkat ke kantor masing-masing. Seperti biasa, warung makan Mbok Mesem selalu ramai karena terkenal enak dan tipikal yang ceplas-ceplos renyah seperti gorengannya. Ya, warung Mbok Mesem adalah warung makan siap saji yang menyajikan aneka sayuran matang khas jawa khusus untuk hidangan makan pagi, terkenal dengan sambalnya yang begtu menggugah selera. Pedasnya sama dengan ucapan yang keluar dari Mbok Mesem jika ada orang yang lama tidak segera membayar hutangnya. Terlewat lama hingga ia bosan menagihnya berkali-kali.

        Panjang umur sekali, baru saja dibicarakan oleh Mbok Mesem, Sumi datang dengan daster yang pendeknya selutut ke atas sedikit. Decak kagum dan siulan bersahutan, terutama dari para laki-laki muda yang sedang berada di sana.

        “Pas ditagih Mang Kardi saja sudah seperti kerbau dicucuk hidungnya. Tapi saat menagih uang seribu rupiah kau hujani dengan bisa dari congormu itu.” pisuh Sumi sambil menahan malu karena gerah dengan sindiran Mbok Mesem untuk segera membayar kekurangannya membayar sayur oseng lusa lalu.

        “Pendatang baru saja sudah sok-sokan, huh!” jawab Mbok Mesem memalingkan wajah juteknya sambil merapikan etalase yang memperlihatkan masih cukup banyak dagangannya saat Sumi menyodorkan uangnya. Mungkin hanya Sumi yang berani menyela nyinyiran Mbok Mesem. Namun Sumi segera pergi meninggalkan warung karena ia tahu bahwa tidak ada gunanya beradu mulut dengan orang yang lebih dulu tinggal di sana. Yang waras ngalah, prinsipnya dalam hati.

        Meski memiliki perangai demikian, ada watak baik di balik mulut pedas Mbok Mesem. Jika dagangannya tidak habis, ia bungkus dan bagikan ke beberapa tetangganya. Kadang setiap jumat ia setor ke masjid dekat warungnya walau hanya ia isi dengan gorengan, bihun dan telur ceplok.

**

        Kali keempatnya aku harus pergi melangkahkan kaki ke warung Mbok Mesem, namun aku tidak tahu mengapa kali ini warung Mbok Mesem tutup lebih pagi. Rasa penasaranku terjawab ketika ada sebuah mobil ambulans diikuti dengan beberapa mobil berwarna gelap seperti kedatangan pejabat yang sering terlihat di televisi. Padahal Siti masih ingin dibelikan sarapan buburnya Mbok Mesem, aku pun tak tahu mengapa ia hanya cocok dengan masakannya. Pernah ku belikan sarapan di warung lain tapi tidak dihabiskan, disentuhpun enggan. Katanya tidak enak, kurang mantap. Entah apa rahasianya Mbok Mesem bisa memasak enak dan cocok di lidah orang-orang sini.

        “Kang, kenapa ada rame-rame di warungnya Mbok Mesem ya?” tanya ku pada Kang Burhan tetangga depan warung Mbok Mesem.

        “Kemarin sore dia sakit, wajahnya mati separo. Mulutnya kaku, bicaranya gagu. Amit-amit deh pokoknya.”

        “Loh? Kok sama dengan penyakit istriku kemarin? Apa sedang musim?”

        “Mungkin karena hobi nyinyirin orang.”

        “Ah, masa sih?”

        “Anak buah Mbok Mesem pun kemarin juga begitu, istrimu sudah sembuh?”

        “Membaik setelah ku beri masker.”

        “Di bawa ke klinik?”

        “Tidak, hanya ku beri masker saja, selang lima menit ia langsung bisa berbicara. Tapi masih malu untuk ke luar rumah.”

        Mbok Mesem yang hendak di bawa menggunakan ambulans meronta, menolak untuk di bawa ke klinik. Alasannya ia masih bisa beraktivitas, walau omongannya gagu ia menggunakan bahasa isyarat kalau ia tetap menolak untuk di bawa ke klinik.

        “Kau beli di mana masker itu?”

        “Ada anak yatim di persimpangan yang menjual.”

        “Lalu apa maskermu masih ada Dul?”

        “Tinggal dua.”

        “Coba beri ia satu, aku juga repot kalau istriku sedang tidak selera membuatkan sarapan, mau cari dimana lagi. Cuma masakan Mbok Mesem yang cocok di lidahku.”

        “I,iya deh.. Aku coba ya.”

        Aku mendatangi Mbok Mesem yang masih bersikukuh menolak dibawa ke klinik, bahkan orang-orang yang mencoba memberi pengertian dan membujuknya ia tolak untuk tidak mendekat.

        “Mbok, ada apa to kok rame-rame?” tanyaku pura-pura tidak mengerti. Aku menjaga jarak untuk menghindari serangan tak terduga dari orang yang sedang memberontak.

        “Aauu atanya mau dibaa..aa ke uu.maah aa..iitt.” cara bicaranya benar-benar tidak jelas dan ia perjelas dengan menunjuk-nunjuk ke petugas dan mobil ambulans itu. Aku menyerahkan maskerku satu.

        “Pakai ini. Tapi…” ketika hendak ku lanjutkan, Mbok Mesem langsung menekuk mukanya.

        “Tetap ikuti anjuran ahli medis, biar semua tenang dan tidak perlu rebut-ribut seperti ini. Malu dilihat warga Mbok.” lanjutku tanpa banyak gaya lagi akhirnya maskerku dipakainya sambil masih mempertahankan wajah tak suka kepada orang-orang yang menyaksikan keriuhan, seakan menunjukkan bahwa ia mempunyai kuasa penuh untuk memeriksakan diri atau tidak. Memang, tubuhnya merupakan otoritasnya, namun ketika dalam kondisi genting seperti ini merupakan hal yang individualis dan berdampak pada kenyamanan yang lain.

**

        Walau pagi tadi Siti tidak sarapan ia masih terdiam dan duduk di depan sambil membaca  surat kabar, tajuk utamanya berita mengenai wabah yang masih dan terus memakan banyak korban. Covid-20 masih betah rupanya di negara kita tercinta. Belum sempat menyelesaikan satu halaman, tukang sayur keliling yang biasanya datang jam sembilan pagi sudah membunyikan klakson motornya sambil melantangkan suaranya.

        “Mas, mau dibuatkan menu apa hari ini?”

        “Kau sudah lancar bicara Siti?” Rasa kaget bercampur bahagia ku rasa seperti menemukan oase dikala haus di gurun Sahara melanda.

        Dia hanya menjawab dengan senyuman. Ada rasa bahagia yang bisa ku tembus lewat senyuman itu dalam hatinya.

        “Jadinya mau masak apa?” diulangi lagi pertanyaannya sambil mengalihkan pandangannya pada vas bunga yang ia benahi untuk menutupi rasa malunya.

        “Bening dengan tempe goreng saja sepertinya enak bu.” Terakhir kali ku sebut ia Ibu adalah saat membawa Aldi, anak kita semata wayang ke dalam liang peristirahatan sebulan yang lalu sebab asmanya kumat dan terlambat untuk ditangani. Sapaan yang romantis menurutku karena pertama kalinya saat ia menimang Aldi ke luar dari rumah bersaalin. Ah.. hidup ini begitu tega kepada kami rasanya.

        Siti menuju ke keranjang bambu yang dibawa mbak penjual sayur, dicarinya bahan untuk membuat sayur bening. Sebelum kemudian kabar mengagetkan datang dan membuat pencarian Siti terhadap bahan pangan terhenti.

        “Bu, tahu tidak? Tadi saya ketemu Mbok Mesem di pasar, sudah ceria lagi sepertinya.”

        “Memang sakit apa Mbok Mesem?”

        “Sama seperti Bu Siti kemarin itu lho, wajahnya mati separo tidak bisa berbicara.”

        “Lalu kok cepat sekali sembuhnya?” tanya Siti heran.

        “Katanya tadi pagi diberi masker ajaib sama Pak Dul, memang Pak Dul belum cerita ya Bu?”

        “Sebentar, titip dulu ini belanjaan saya ya mbak.” lalu Siti bergegas menemui suaminya yang terlihat tergeletak menggenggam sebuah masker dengan mulut menganga dan mata yang sembab menahan air mata.

        “Mas!? Tolong..! Too…” belum sempat selesai berteriak minta tolong, mulut Siti tiba-tiba kembali kaku.

        Lalu ia mengambil masker dari tanganku kemudian ia pasangkan ke mulutku. Apa yang ada di pikirannya! Ini untukmu Siti! Biar aku saja yang mencoba menahan rasa sakit ini! Begitu hendak ku copot masker untuk kuberikan padanya namun ia tolak dengan menahan tanganku seraya tersenyum lebar. Dulu ia pernah berkata ngawur bahwa ingin menyusul Aldi dan menemaninya agar tak kesepian di akhirat sana. Sambil menggenggam tanganku erat tanda tidak mau menerima pemberian masker dariku, Siti hanya tersenyum lebar sambil menahan kejang.

        Asmanya kumat!

        Tolong! Siapapun!

        Dan untuk terakhir kalinya hingga aku sendiri tak bisa lagi membendung air mata, mulutku masih terus meneriakkan namanya keras-keras. Dalam situasi terkacau ini orang-orang hanya bisa melongo sambil melotot dari depan rumah serta tidak ada lagi yang berani membicarakan dan mendekati rumah Dul.

 

        Kulon Progo, 1 Juli 2020

 

Gil Ragil, lahir di Jakarta, Agustus 1992, kini tinggal di Wates, Kulon Progo, Yogyakarta dan aktivitas sehari-harinya merupakan digital freelancer, aktif di komunitas Sastra-Ku dan komunitas pekerja kreatif di bidang suara, Voice People Jogja. Jika ingin berinteraksi dengan penulis silakan berkirim email ke ragil.iou@gmail.com atau juga bisa mengirim pesan ke 0896-6917-9534

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Karya Edisi 10/25-4