MASKER
AJAIB
Cerpen Gil Ragil
Pagi ini aku harus membeli
sarapan lagi yang kali ketiganya di tempat Mbok Mesem, istriku Siti sudah tiga
hari ini kurang enak badan minta untuk dibelikan bubur. Penyakit langka kata
dokter, wajahnya mati separo bahkan untuk berbicara saja nampak kesulitan. Juga
disertai asmanya yang kadang kumat.
Ku lihat Mbok Mesem sibuk
melayani pembelinya sambil asik membicarakan sesuatu.
“Asik sekali, ngomongin
siapa sih Mbok?”
“Sumi, tetangga barumu itu
lho.”
Rupanya sedang membicarakan
Sumi, tetanggaku yang baru saja pulang dari perantauan. Penampilan
sehari-harinya cukup mengejutkan beberapa warga dusun yang masih belum terpapar
perilaku metroseksual, yang jika ke luar rumah memakai pakaian kurang bahan menjadi
hal biasa untuk orang kota. Itulah yang membuat Mbok Mesem nyerocos tanpa henti
apalagi jika sudah mengomentari solekannya yang terlalu menor, bahkan untuk
sekadar pergi ke warungnya untuk membeli sarapan.
“Malah bisa buat hiburan di
sini kan Mbok? Hahaha” kelakar salah satu pria muda yang memakai seragam serba
coklat.
“Tempat cuci tangannya masih
belum di pasang to Mbok?” lanjutnya lalu menyuap sesendok terakhir menu soto
nya. Mbok Mesem hanya diam, meski pemerintah telah menganjurkan untuk tetap
mematuhi protokol kesehatan seperti harus menyediakan tempat cuci tangan dan
memakai masker, namun di warung Mbok Mesem sepertinya tidak mempan dengan
anjuran itu, Mbok Mesem dan anak buahnya dengan acuh bernafas lega tanpa ada
sedikitpun rasa khawatir dan peduli ketika Pak RT ataupun Pak Lurah sekalipun
datang untuk memberi peringatan.
Memang di depan orang yang
disindirnya Mbok Mesem tidak berani untuk berkomentar langsung, bukan tidak
berani, namun lebih menjaga kenyamanan dan enggan untuk kehilangan pelanggannya
karena dinilai terlalu mengurusi penampilan orang.
Pembahasan yang serius
diselingi dengan kelakar ringan dengan tawa yang disambut oleh seorang pemuda,
mungkin anaknya.
”Aku lebih memilih wajah
yang oriental.” kataku sambil menyomot beberapa bakwan yang baru saja ia angkat
dari wajan yang masih mengepul.
”Iya, akupun begitu. Percuma
wajahnya ayu tapi njewewek (cemberut).”
”Betul, tapi juga ada yang
wajah aslinya memang hitam tapi manis, seperti Siti”
”Halah, yang ada juga
lehernya hitam seperti mucikari. Eh gimana kabar Siti? Sudah sembuh belum Dul?”
“Sudah bisa mulai makan
Mbok, sedikit-sedikit tapi selaranya sama masakanmu saja Mbok.” lirikku pada
mulutnya yang ikut njewewek, ternyata kedatangan Mang Kardi si marketing
eksekutif dari koperasi untuk menagih angsuran bulanan Mbok Mesem yang tak
kunjung lunas.
“Sudah seperti mucikari Mbok
mulutmu itu.” lanjutku sambil tertawa kecil.
Disusul dengan gelak tawa
seluruh laki-laki yang rata-rata sering sarapan sebelum berangkat ke kantor
masing-masing. Seperti biasa, warung makan Mbok Mesem selalu ramai karena
terkenal enak dan tipikal yang ceplas-ceplos renyah seperti gorengannya. Ya,
warung Mbok Mesem adalah warung makan siap saji yang menyajikan aneka sayuran
matang khas jawa khusus untuk hidangan makan pagi, terkenal dengan sambalnya
yang begtu menggugah selera. Pedasnya sama dengan ucapan yang keluar dari Mbok
Mesem jika ada orang yang lama tidak segera membayar hutangnya. Terlewat lama
hingga ia bosan menagihnya berkali-kali.
Panjang umur sekali, baru
saja dibicarakan oleh Mbok Mesem, Sumi datang dengan daster yang pendeknya
selutut ke atas sedikit. Decak kagum dan siulan bersahutan, terutama dari para
laki-laki muda yang sedang berada di sana.
“Pas ditagih Mang Kardi saja
sudah seperti kerbau dicucuk hidungnya. Tapi saat menagih uang seribu rupiah
kau hujani dengan bisa dari congormu itu.” pisuh Sumi sambil menahan malu
karena gerah dengan sindiran Mbok Mesem untuk segera membayar kekurangannya
membayar sayur oseng lusa lalu.
“Pendatang baru saja sudah
sok-sokan, huh!” jawab Mbok Mesem memalingkan wajah juteknya sambil merapikan
etalase yang memperlihatkan masih cukup banyak dagangannya saat Sumi
menyodorkan uangnya. Mungkin hanya Sumi yang berani menyela nyinyiran Mbok
Mesem. Namun Sumi segera pergi meninggalkan warung karena ia tahu bahwa tidak
ada gunanya beradu mulut dengan orang yang lebih dulu tinggal di sana. Yang
waras ngalah, prinsipnya dalam hati.
Meski memiliki perangai
demikian, ada watak baik di balik mulut pedas Mbok Mesem. Jika dagangannya tidak
habis, ia bungkus dan bagikan ke beberapa tetangganya. Kadang setiap jumat ia
setor ke masjid dekat warungnya walau hanya ia isi dengan gorengan, bihun dan
telur ceplok.
**
Kali keempatnya aku harus
pergi melangkahkan kaki ke warung Mbok Mesem, namun aku tidak tahu mengapa kali
ini warung Mbok Mesem tutup lebih pagi. Rasa penasaranku terjawab ketika ada
sebuah mobil ambulans diikuti dengan beberapa mobil berwarna gelap seperti
kedatangan pejabat yang sering terlihat di televisi. Padahal Siti masih ingin
dibelikan sarapan buburnya Mbok Mesem, aku pun tak tahu mengapa ia hanya cocok
dengan masakannya. Pernah ku belikan sarapan di warung lain tapi tidak
dihabiskan, disentuhpun enggan. Katanya tidak enak, kurang mantap. Entah apa
rahasianya Mbok Mesem bisa memasak enak dan cocok di lidah orang-orang sini.
“Kang, kenapa ada rame-rame
di warungnya Mbok Mesem ya?” tanya ku pada Kang Burhan tetangga depan warung
Mbok Mesem.
“Kemarin sore dia sakit,
wajahnya mati separo. Mulutnya kaku, bicaranya gagu. Amit-amit deh pokoknya.”
“Loh? Kok sama dengan
penyakit istriku kemarin? Apa sedang musim?”
“Mungkin karena hobi
nyinyirin orang.”
“Ah, masa sih?”
“Anak buah Mbok Mesem pun
kemarin juga begitu, istrimu sudah sembuh?”
“Membaik setelah ku beri
masker.”
“Di bawa ke klinik?”
“Tidak, hanya ku beri masker
saja, selang lima menit ia langsung bisa berbicara. Tapi masih malu untuk ke
luar rumah.”
Mbok Mesem yang hendak di
bawa menggunakan ambulans meronta, menolak untuk di bawa ke klinik. Alasannya
ia masih bisa beraktivitas, walau omongannya gagu ia menggunakan bahasa isyarat
kalau ia tetap menolak untuk di bawa ke klinik.
“Kau beli di mana masker
itu?”
“Ada anak yatim di
persimpangan yang menjual.”
“Lalu apa maskermu masih ada
Dul?”
“Tinggal dua.”
“Coba beri ia satu, aku juga
repot kalau istriku sedang tidak selera membuatkan sarapan, mau cari dimana
lagi. Cuma masakan Mbok Mesem yang cocok di lidahku.”
“I,iya deh.. Aku coba ya.”
Aku mendatangi Mbok Mesem
yang masih bersikukuh menolak dibawa ke klinik, bahkan orang-orang yang mencoba
memberi pengertian dan membujuknya ia tolak untuk tidak mendekat.
“Mbok, ada apa to kok
rame-rame?” tanyaku pura-pura tidak mengerti. Aku menjaga jarak untuk
menghindari serangan tak terduga dari orang yang sedang memberontak.
“Aauu atanya mau dibaa..aa
ke uu.maah aa..iitt.” cara bicaranya benar-benar tidak jelas dan ia perjelas
dengan menunjuk-nunjuk ke petugas dan mobil ambulans itu. Aku menyerahkan
maskerku satu.
“Pakai ini. Tapi…” ketika
hendak ku lanjutkan, Mbok Mesem langsung menekuk mukanya.
“Tetap ikuti anjuran ahli
medis, biar semua tenang dan tidak perlu rebut-ribut seperti ini. Malu dilihat
warga Mbok.” lanjutku tanpa banyak gaya lagi akhirnya maskerku dipakainya
sambil masih mempertahankan wajah tak suka kepada orang-orang yang menyaksikan
keriuhan, seakan menunjukkan bahwa ia mempunyai kuasa penuh untuk memeriksakan
diri atau tidak. Memang, tubuhnya merupakan otoritasnya, namun ketika dalam
kondisi genting seperti ini merupakan hal yang individualis dan berdampak pada
kenyamanan yang lain.
**
Walau pagi tadi Siti tidak
sarapan ia masih terdiam dan duduk di depan sambil membaca surat kabar, tajuk utamanya berita mengenai
wabah yang masih dan terus memakan banyak korban. Covid-20 masih betah rupanya
di negara kita tercinta. Belum sempat menyelesaikan satu halaman, tukang sayur
keliling yang biasanya datang jam sembilan pagi sudah membunyikan klakson
motornya sambil melantangkan suaranya.
“Mas, mau dibuatkan menu apa
hari ini?”
“Kau sudah lancar bicara
Siti?” Rasa kaget bercampur bahagia ku rasa seperti menemukan oase dikala haus
di gurun Sahara melanda.
Dia hanya menjawab dengan
senyuman. Ada rasa bahagia yang bisa ku tembus lewat senyuman itu dalam
hatinya.
“Jadinya mau masak apa?”
diulangi lagi pertanyaannya sambil mengalihkan pandangannya pada vas bunga yang
ia benahi untuk menutupi rasa malunya.
“Bening dengan tempe goreng
saja sepertinya enak bu.” Terakhir kali ku sebut ia Ibu adalah saat membawa
Aldi, anak kita semata wayang ke dalam liang peristirahatan sebulan yang lalu
sebab asmanya kumat dan terlambat untuk ditangani. Sapaan yang romantis
menurutku karena pertama kalinya saat ia menimang Aldi ke luar dari rumah
bersaalin. Ah.. hidup ini begitu tega kepada kami rasanya.
Siti menuju ke keranjang
bambu yang dibawa mbak penjual sayur, dicarinya bahan untuk membuat sayur
bening. Sebelum kemudian kabar mengagetkan datang dan membuat pencarian Siti
terhadap bahan pangan terhenti.
“Bu, tahu tidak? Tadi saya
ketemu Mbok Mesem di pasar, sudah ceria lagi sepertinya.”
“Memang sakit apa Mbok
Mesem?”
“Sama seperti Bu Siti
kemarin itu lho, wajahnya mati separo tidak bisa berbicara.”
“Lalu kok cepat sekali
sembuhnya?” tanya Siti heran.
“Katanya tadi pagi diberi
masker ajaib sama Pak Dul, memang Pak Dul belum cerita ya Bu?”
“Sebentar, titip dulu ini
belanjaan saya ya mbak.” lalu Siti bergegas menemui suaminya yang terlihat
tergeletak menggenggam sebuah masker dengan mulut menganga dan mata yang sembab
menahan air mata.
“Mas!? Tolong..! Too…” belum
sempat selesai berteriak minta tolong, mulut Siti tiba-tiba kembali kaku.
Lalu ia mengambil masker
dari tanganku kemudian ia pasangkan ke mulutku. Apa yang ada di pikirannya! Ini
untukmu Siti! Biar aku saja yang mencoba menahan rasa sakit ini! Begitu hendak
ku copot masker untuk kuberikan padanya namun ia tolak dengan menahan tanganku
seraya tersenyum lebar. Dulu ia pernah berkata ngawur bahwa ingin menyusul Aldi
dan menemaninya agar tak kesepian di akhirat sana. Sambil menggenggam tanganku
erat tanda tidak mau menerima pemberian masker dariku, Siti hanya tersenyum
lebar sambil menahan kejang.
Asmanya kumat!
Tolong! Siapapun!
Dan untuk terakhir kalinya
hingga aku sendiri tak bisa lagi membendung air mata, mulutku masih terus
meneriakkan namanya keras-keras. Dalam situasi terkacau ini orang-orang hanya
bisa melongo sambil melotot dari depan rumah serta tidak ada lagi yang berani
membicarakan dan mendekati rumah Dul.
Kulon Progo, 1 Juli 2020
Gil Ragil, lahir di Jakarta, Agustus 1992, kini tinggal di Wates, Kulon Progo, Yogyakarta dan aktivitas sehari-harinya merupakan digital freelancer, aktif di komunitas Sastra-Ku dan komunitas pekerja kreatif di bidang suara, Voice People Jogja. Jika ingin berinteraksi dengan penulis silakan berkirim email ke ragil.iou@gmail.com atau juga bisa mengirim pesan ke 0896-6917-9534

Tidak ada komentar:
Posting Komentar