Sabtu, 16 April 2022

 

PEREMPUAN YANG KEHILANGAN AIR MATA

Cerpen Gil Ragil

 

Langit nampak cerah, matahari menyengat teramat seakan kehilangan ingatan untuk melihat perempuan yang sering ia sengat tiap pagi di beranda sebuah bangsal. Pandangannya masih menatap beragam bunga yang begitu memikat, tapi tidak dengan dirinya. Tatapannya kosong, seakan bukan mereka yang menjadi pusat perhatiannya. Keringatnya mulai menetes karena terik sudah mulai terasa panas.

“Kakak Ari, apa belum lapar?” tanya seorang suster mendekatinya dari belakang sambil merangkul Pundak perempuan itu. Wajahnya tak merespon.

“Makan yuk.” Sedikit memaksa untuk mengajaknya kembali ke dalam kamar yang telah ia siapkan nasi kotak lengkap dengan sayur dan lauk.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!! AKU TIDAK MAU DIPAKSA!” tiba-tiba perempuan itu berteriak dan meronta, isyarat ajakan suster ditolaknya.

Sepasang mata menahan air matanya terjatuh lebih banyak. Mulutnya ditutupi seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Suster berbalik dan menemui perempuan mud aitu dengan tangan kosong.

“Sudah dua hari makanan dari kami tidak disentuhnya. Kondisinya semakin hari semakin tidak sehat.” Keluh suster itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu saya sus?”

“Mari ikut saya.”

Sambil dalam perjalanan menuju ruang perawat itu menceritakan semuanya.

Kurang lebih tiga bulan yang lalu, datang seorang lelaki paruh baya membawa Ari dengan tangan terborgol. Saat itu hujan sangat deras, petir menyambar bagai music pengiring kedatangannya. Tubuhnya basah kuyup dengan raut muka yang menyedihkan. Bahkan di antara pasien di sini. Kondisi Ibu Ari sangat memprihatinkan. Lelaki itu mengaku sebagai kakak kandungnya, ia tidak menyebutkan nama dan tidak meninggalkan identitas apapun. Ia hanya menitipkan berkas Ibu Ari serta nomor telepon anda.

Siang itu suasana di rumah sakit menjadi tidak terlalu panas karena Dewi melihat beberapa foto di antara berkas Ibunya. Foto mendiang ayahnya. Rindunya jatuh bersama linangan air matanya. Begitu ia buka sepucuk surat. Matanya berkaca-baca. Ia tidak ingat, sudah berapa kali ia bentak Ibunya, berapa kali pula ia acuhkan saat Ibunya sakit lemah tak berdaya. Sedang ia bersenang-senang memuaskan hatinya.

Betapa Ibunya berharap ia kembali pulang dan kembali untuk tetap tinggal walau hatinya mengembara. Dibukanya amplop dengan tulisan di sudut kertas: untuk Dewi

Air mata ibu, Dewi

Betapa rindu kami menunggumu pulang nak, di sini ibu bersama ayahmu mencari dari ujung ke ujung untuk meminta kau kembali. Ibu janji, tidak akan menjodohkan lagi, semua yang telah terjadi murni kesalahan Ibu. Ibu mohon jangan menaruh dendam kepada Ibu, apalagi kepada Bapak. Kau akan seperti ibu, dewasa dan cantik suatu saat. Ibu merestui seluruh hidupmu, meski kelak Ibu tak mengingatmu lagi. Meski Air mata Ibu habis sekalipun.

Jika kau membaca surat ini, yakinlah air mata Ibu masih untuk mu. Ridho Ibu selalu menyertaimu.

Salam kasih,

Ibu

Bahkan salamnya pun Ibunya tulis dengan berat, penuh rasa rindu. Namun kini arang telah menjadi abu. Dewi benar-benar kehilangan air mata Ibunya.

“Kabarnya Ibunya seperti ini karena setiap hari menunggu air matanya sambil merawat Bapaknya yang jatuh sakit.” Perawat itu berkisah, rumah perawat itu masih satu desa dengan rumah Ibunya. Yang ia tinggal berpuluh-puluh tahun ke negara seberang.

Nafasnya memberat. Ia membayangkan betapa Ibunya melewati masa-masa kehilangan air matanya. Demi perjodohan dengan seorang juragan bakso pilihannya, namun Dewi memillih merantau menjadi TKI dan berumah tangga bersama suaminya yang berbeda negara. Membuat keluarga kecil dan menetap di Jepang.

“Lalu saat nafas Bapak sudah di ujung, Ibu tak sanggup untuk membawanya ke rumah sakit. Ibu. Hartanya sudah ia kuras untuk menutupi hutangnya pada juragan bakso.” Perawat itu turut mengenang betapa rumor di desanya sangat kuat. Mengenai perjodohan Dewi dan juragan bakso sedikit demi sedikit menyebabkan luka batin yang tak bisa disembuhkan. Baik untuk Dewi maupun orangtuanya.

“Bolehkan saya membawa Ibu pulang?” Dewi memohon kepada perawat itu, walau ia tak yakin akan seperti apa reaksinya.

“Silakan, mungkin ia memang ingin melihatmu. Ingin tinggal bersamamu”

Dewi menghampiri wanita yang masih duduk lemas di kursi rotan. Rambutnya yang memutih tergerai hampir menyentuh lantai. Rambut yang dulu sering ia mainkan saat merengek meminta kue apem mbok misul di pasar. Rambut yang dulu sering ia sisir ketika bonekanya hanyut di kali.

“Bu, pulang yuk?”

“TIDAK!! JANGAN PAKSA AKU!”

Dewi tersentak kaget, bahkan suaranya sudah dilupakan begitu saja. Apa benar ia ibunya? Apa benar ia yang menulis surat penuh rindu dan harap itu? Dewi sempat ragu, namun rasa rindu menghempasnya dan tanpa menyerah ia duduk bersimpuh di paha wanita tua yang hanya tinggal tulang berbalut kulit keriput.

“Bu, maafkan Dewi bu. Dewi telah meninggalkan Ibu.”

“Air mata Ibu yang hilang?” suara Ibu parau. Namun pandangannya masih menatap jauh, diiringi mata yang berkaca tipis.bahunya yang lemah terangkat. Dadanya terasa sesak. Selama ini yang ia tunggu hanya ingin air matanya kembali.

“Iya bu, ini air mata ibu.” Dewi menyambut isyarat yang disampaikan Ibunya.

Perlahan mata ibu sembab.

Air mata dewi tidak terbendung

Air matanya yang hilang telah ia temukan.

Air mata yang hampir sepuluh tahun ia abaikan, dan memang itu yang ia harapkan. Air mata yang mengalir untuknya. Hanya untuknya semata.


Ragil Prasedewo, Lahir di Jakarta 30 tahun silam. Seorang seniman awam dengan banyak  ide dan ketertarik-an. Mulai dari sastra, seni tari, karawitan, ketoprak hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada beberapa sekolah dasar di Kulon Progo. Minatnya pada sastra telah menghasilkan beberapa karya. Puisinya berjudul “Senja di Atas Parangtritis” masuk di buku Antologi Ta’aruf Penyair Muda Indonesia (Soul Media Academy, 2016). Sedangkan Serdadu Api (Guepedia, 2020) adalah antologi puisi tunggalnya. Cerpennya dimuat di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku) dan Duhkita (PusakaKu, 2021). Jika ingin berinteraksi kepada penulis bisa lewat surel  ragil.iou@gmail.com atau WA 083862730832.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...