PEREMPUAN
YANG KEHILANGAN AIR MATA
Cerpen Gil Ragil
Langit nampak cerah, matahari menyengat
teramat seakan kehilangan ingatan untuk melihat perempuan yang sering ia sengat
tiap pagi di beranda sebuah bangsal. Pandangannya masih menatap beragam bunga
yang begitu memikat, tapi tidak dengan dirinya. Tatapannya kosong, seakan bukan
mereka yang menjadi pusat perhatiannya. Keringatnya mulai menetes karena terik
sudah mulai terasa panas.
“Kakak Ari, apa belum lapar?” tanya
seorang suster mendekatinya dari belakang sambil merangkul Pundak perempuan
itu. Wajahnya tak merespon.
“Makan yuk.” Sedikit memaksa untuk
mengajaknya kembali ke dalam kamar yang telah ia siapkan nasi kotak lengkap
dengan sayur dan lauk.
“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!! AKU TIDAK
MAU DIPAKSA!” tiba-tiba perempuan itu berteriak dan meronta, isyarat ajakan
suster ditolaknya.
Sepasang mata menahan air matanya
terjatuh lebih banyak. Mulutnya ditutupi seakan tidak percaya akan apa yang
dilihatnya.
Suster berbalik dan menemui perempuan
mud aitu dengan tangan kosong.
“Sudah dua hari makanan dari kami tidak
disentuhnya. Kondisinya semakin hari semakin tidak sehat.” Keluh suster itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu
saya sus?”
“Mari ikut saya.”
Sambil dalam perjalanan menuju ruang
perawat itu menceritakan semuanya.
Kurang lebih tiga bulan yang lalu,
datang seorang lelaki paruh baya membawa Ari dengan tangan terborgol. Saat itu
hujan sangat deras, petir menyambar bagai music pengiring kedatangannya.
Tubuhnya basah kuyup dengan raut muka yang menyedihkan. Bahkan di antara pasien
di sini. Kondisi Ibu Ari sangat memprihatinkan. Lelaki itu mengaku sebagai
kakak kandungnya, ia tidak menyebutkan nama dan tidak meninggalkan identitas
apapun. Ia hanya menitipkan berkas Ibu Ari serta nomor telepon anda.
Siang itu suasana di rumah sakit
menjadi tidak terlalu panas karena Dewi melihat beberapa foto di antara berkas
Ibunya. Foto mendiang ayahnya. Rindunya jatuh bersama linangan air matanya.
Begitu ia buka sepucuk surat. Matanya berkaca-baca. Ia tidak ingat, sudah
berapa kali ia bentak Ibunya, berapa kali pula ia acuhkan saat Ibunya sakit
lemah tak berdaya. Sedang ia bersenang-senang memuaskan hatinya.
Betapa Ibunya berharap ia kembali
pulang dan kembali untuk tetap tinggal walau hatinya mengembara. Dibukanya
amplop dengan tulisan di sudut kertas: untuk Dewi
Air mata ibu, Dewi
Betapa rindu kami menunggumu pulang
nak, di sini ibu bersama ayahmu mencari dari ujung ke ujung untuk meminta kau
kembali. Ibu janji, tidak akan menjodohkan lagi, semua yang telah terjadi murni
kesalahan Ibu. Ibu mohon jangan menaruh dendam kepada Ibu, apalagi kepada
Bapak. Kau akan seperti ibu, dewasa dan cantik suatu saat. Ibu merestui seluruh
hidupmu, meski kelak Ibu tak mengingatmu lagi. Meski Air mata Ibu habis
sekalipun.
Jika kau membaca surat ini, yakinlah
air mata Ibu masih untuk mu. Ridho Ibu selalu menyertaimu.
Salam kasih,
Ibu
Bahkan salamnya pun Ibunya tulis dengan
berat, penuh rasa rindu. Namun kini arang telah menjadi abu. Dewi benar-benar
kehilangan air mata Ibunya.
“Kabarnya Ibunya seperti ini karena
setiap hari menunggu air matanya sambil merawat Bapaknya yang jatuh sakit.”
Perawat itu berkisah, rumah perawat itu masih satu desa dengan rumah Ibunya.
Yang ia tinggal berpuluh-puluh tahun ke negara seberang.
Nafasnya memberat. Ia membayangkan
betapa Ibunya melewati masa-masa kehilangan air matanya. Demi perjodohan dengan
seorang juragan bakso pilihannya, namun Dewi memillih merantau menjadi TKI dan
berumah tangga bersama suaminya yang berbeda negara. Membuat keluarga kecil dan
menetap di Jepang.
“Lalu saat nafas Bapak sudah di ujung,
Ibu tak sanggup untuk membawanya ke rumah sakit. Ibu. Hartanya sudah ia kuras
untuk menutupi hutangnya pada juragan bakso.” Perawat itu turut mengenang
betapa rumor di desanya sangat kuat. Mengenai perjodohan Dewi dan juragan bakso
sedikit demi sedikit menyebabkan luka batin yang tak bisa disembuhkan. Baik
untuk Dewi maupun orangtuanya.
“Bolehkan saya membawa Ibu pulang?”
Dewi memohon kepada perawat itu, walau ia tak yakin akan seperti apa reaksinya.
“Silakan, mungkin ia memang ingin
melihatmu. Ingin tinggal bersamamu”
Dewi menghampiri wanita yang masih
duduk lemas di kursi rotan. Rambutnya yang memutih tergerai hampir menyentuh
lantai. Rambut yang dulu sering ia mainkan saat merengek meminta kue apem mbok
misul di pasar. Rambut yang dulu sering ia sisir ketika bonekanya hanyut di
kali.
“Bu, pulang yuk?”
“TIDAK!! JANGAN PAKSA AKU!”
Dewi tersentak kaget, bahkan suaranya
sudah dilupakan begitu saja. Apa benar ia ibunya? Apa benar ia yang menulis
surat penuh rindu dan harap itu? Dewi sempat ragu, namun rasa rindu
menghempasnya dan tanpa menyerah ia duduk bersimpuh di paha wanita tua yang
hanya tinggal tulang berbalut kulit keriput.
“Bu, maafkan Dewi bu. Dewi telah
meninggalkan Ibu.”
“Air mata Ibu yang hilang?” suara Ibu
parau. Namun pandangannya masih menatap jauh, diiringi mata yang berkaca
tipis.bahunya yang lemah terangkat. Dadanya terasa sesak. Selama ini yang ia
tunggu hanya ingin air matanya kembali.
“Iya bu, ini air mata ibu.” Dewi
menyambut isyarat yang disampaikan Ibunya.
Perlahan mata ibu sembab.
Air mata dewi tidak terbendung
Air matanya yang hilang telah ia
temukan.
Air mata yang hampir sepuluh tahun ia
abaikan, dan memang itu yang ia harapkan. Air mata yang mengalir untuknya.
Hanya untuknya semata.
Ragil Prasedewo, Lahir di Jakarta 30 tahun silam.
Seorang seniman awam dengan banyak ide
dan ketertarik-an. Mulai dari sastra, seni tari, karawitan, ketoprak hingga
batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada
beberapa sekolah dasar di Kulon Progo. Minatnya pada sastra telah menghasilkan
beberapa karya. Puisinya berjudul “Senja di Atas Parangtritis” masuk di buku
Antologi Ta’aruf Penyair Muda Indonesia (Soul Media Academy, 2016). Sedangkan
Serdadu Api (Guepedia, 2020) adalah antologi puisi tunggalnya. Cerpennya dimuat
di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku) dan Duhkita (PusakaKu, 2021).
Jika ingin berinteraksi kepada penulis bisa lewat surel ragil.iou@gmail.com atau WA 083862730832.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar