Mbah Gin
Cerpen: Imam Wahyudi
Tiba-tiba
saja Mbah Gin mengutarakan keinginannya untuk berkurban pada tahun ini. Aku
yang duduk disampingnya, setelah kelelahan mengawinkan kambing betinaku dengan
Si Bagong, kambing jantan milik Mbah Gin, seperti tak percaya dengan niatan
perempuan tua itu. Selama ini ia abai dalam hal agama, kewajiban lima waktu pun
tak pernah kulihat ia tunaikan.
“Benarkah
hewan yang kita kurbankan itu kelak akan menjadi kendaraan kita menuju surga, Mam?”
sambil mengunyah sirih, Mbah Gin melontar tanya padaku.
“Wah,
aku tak paham soal itu, Mbah. Takut salah nanti. Mending sampeyan tanya ke Kaji Dolah saja yang paham ilmu agama. Kalau
menurutku, segala amal kebaikan itu, asal ikhlas hanya mengharap ridha-Nya,
insyaallah akan menolong kita di akhirat kelak,” jawabku sambil menyeruput teh
kental yang ia suguhkan.
“Aku
malu, Mam. Selama ini kakiku tak pernah menyentuh langgar1) Kaji Dolah. Aku
belum bisa sholat dengan lancar. Tetapi melihat orang-orang berkurban, entah
mengapa, seperti ada yang membisikiku untuk turut serta berkurban. Mungkin karena
aku sudah tua, ajalku makin dekat, aku jadi ingat Tuhan…,” lanjut perempuan
berambut putih memplak2) karena uban, bernama lengkap Soginem itu.
“Tak
ada kata terlambat, Mbah. Gusti Allah itu Maha Tahu. Sebelum nyawa lepas dari
raga, pintu ampunan selalu terbuka. Kaji Dolah pasti senang bila Mbah Gin mau
datang ke langgar. Terus Mbah Gin mau kurban apa? Nanti sekalian aku sampaikan
ke panitia?”
“Si
Bagong akan aku kurbankan,” jawabnya mantap.
“Ha?
Si Bagong, Mbah?” aku terkejut.
“Ya,
Si Bagong. Teman setiaku ini,” ujarnya kemudian, sambil tertatih bangkit lalu
mengelus kambing jantan itu.
Mbah
Gin memelihara beberapa ekor kambing, tetapi perlakuannya kepada Si Bagong
adalah lain. Kambing Jawa berwarna putih dengan lingkaran hitam di sekitar dua mata, seperti
memakai kacamata itu, dulunya adalah hasil persilangan dengan kambing bibit
unggul yang dilakukan oleh Mbah Truno, suaminya yang beberapa tahun lalu telah
pergi mendahului menghadap yang Maha Kuasa. Si Bagong tumbuh menjadi pejantan
yang besar dan kuat. Banyak kambing betina di daerah ini dikawinkan dengannya.
Dari situ, terkadang Mbah Gin juga memperoleh penghasilan sekedarnya sebagai
balas jasa. Saking sayangnya, Si Bagong tidak ditaruh di kandang bersama kambing lainnya, tetapi diikat di pawon3) yang dari dulu tetap dibiarkan
berlantai tanah. Perempuan tua itu juga lebih banyak tidur di pawon dengan
ranjang reot yang ia letakkan di situ. Tentang hal ini, Mbah Gin beralasan
untuk jaga-jaga, takut Si Bagong dicuri. Banyak orang mengincar kambing itu,
tetapi tak ia lepaskan berapapun harganya. Melihat Si Bagong, Mbah Gin akan
teringat terus dengan almarhum Mbah Truno yang puluhan tahun hidup bersamanya,
dalam banyak peristiwa suka maupun duka walau tiada dikaruniai keturunan sampai
mereka dipisahkan oleh maut.
“Baiklah,
Mbah. Nanti kusampaikan kepada Kaji Dolah sebagai ketua panitia kurban,” kataku
kemudian sambil menghela kambing betinaku pulang. Ada rasa haru bercampur salut
di hatiku melihat niat mulia Mbah Gin
tersebut.
***
Pagi
itu mendadak gempar. Mbah Gin yang baru saja pulang dari langgar — sekarang ia
rajin ke langgar, paling tidak waktu Maghrib dan Subuh—mendapati pintu pawonnya
terbuka. Si Bagong tidak ada di tempat. Orang-orang berdatangan ke rumah Mbah Gin.
“Padahal
waktu saya ke langgar, Si Bagong seperti biasa, tenang dan tidak gelisah.
Memang pintunya tidak bisa dikunci dari luar, tetapi tetap saya tutup,” ujar
Mbah Gin.
“Menjelang
Idul Adha, memang rawan pencurian ternak, Mbah. Apalagi Si Bagong juga merupakan
kambing yang sudah poel4), cocok
untuk hewan kurban, pasti banyak yang mengincarnya. Tetapi jangan berpikir
buruk dulu, mungkin kambing itu lepas terus ngelayap cari makan, biar nanti warga
saya suruh mencarinya. Yang penting Mbah Gin tenang dulu. Si Bagong sudah
diniatkan untuk kurban, pasti Gusti Allah punya rencana terbaik untuk itu,”
Kaji Dolah yang datang ke lokasi ikut menenangkan Mbah Gin.
Mbah
Gin syok berat, ia tak menyangka Si Bagong akan menghilang begitu saja.
Seharian tetangga kiri kanan ikut membantu mencari ke penjuru desa, bahkan
hingga ke pasar hewan di luar desa, siapa tahu Si Bagong sudah diperdagangkan
di situ, tetapi tetap saja tak ditemui jejaknya. Demikian, hingga beberapa hari
kemudian orang-orang mulai lelah melacak keberadaan kambing itu dan perlahan
melupakannya.
Aku
sungguh mengkhawatirkan kondisi Mbah Gin. Sejak peristiwa itu ia begitu murung,
tak menampakkan wajah cerah seperti biasanya. Setiap hari hanya mengurung diri
di rumah, sering kali pula dalam tidurnya ia mengigau memanggil-manggil Si
Bagong. Aku yang merasa iba, setiap hari menjenguknya, terkadang bersama istri
atau juga anakku.
***
“Aku
bermimpi Si Bagong pulang,” pagi itu Mbah Gin berkata kepadaku. Aku hanya
tersenyum dan mengangsurkan makanan yang kubawa kehadapannya.
“Benar,
Mam. Mimpi itu seperti nyata. Aku yakin Si Bagong bakal pulang,” kembali ia
berusaha meyakinkanku.
Mendadak,
suara riuh terdengar dari kandang kambing di belakang rumah. Aku berlari
menghampiri sumber kegaduhan itu. Aku terperanjat bukan kepalang. Benar yang
dikatakan Mbah Gin, kulihat di kandang itu Si Bagong mengembik sambil
mengejar-ngejar beberapa kambing betina. Mbah Gin yang kemudian kuberitahu,
begitu sumringah dan berkali-kali mengucap syukur sembari menghambur ke
kandang.
Beberapa
waktu kemudian, terdengar kabar dari desa sebelah tentang seseorang yang
terluka parah karena diseruduk hewan-hewan piaraannya. Entah bagaimana sebab
musababnya, hewan-hewan itu bisa mengamuk dan melukai si empunya. Konon, orang
itu adalah maling ternak yang malang
melintang di kawasan ini. Mungkin Si Bagong terlibat dalam kejadian itu, aku
tak tahu pasti, yang penting ia sudah pulang dan niat Mbah Gin untuk berkurban
tahun ini bakal terlaksana.
***
Takbir
berkumandang. Sholat Idul Adha baru saja usai. Saatnya acara penyembelihan
hewan kurban dilaksanakan di area sekitar langgar. Warga berkumpul untuk
menyaksikan sekaligus melaksanakan penyembelihan tersebut, dipimpin langsung
oleh Kaji Dolah.
Si
Bagong tampak gagah bersanding dengan hewan kurban lainnya. Mbah Gin, sebagai
orang yang turut berkurban hadir pula di situ. Namun, sebenarnya ada yang aku
khawatirkan dengannya, selain kondisinya yang kurang sehat, ia juga takut melihat
darah. Kemarin ia menceritakan mimpinya, membuat diriku makin ketar-ketir.
“Mam,
aku bermimpi indah sekali, dan itu seperti nyata. Si Bagong datang padaku, ia
tampak begitu gagah, mengantarku meniti shiratal
mustaqim5) menuju surga. Ah, di sana ternyata Kang Truno sudah menungguku
dengan wajah berseri-seri. Aku terbangun waktu Azan Subuh, terus berangkat ke langgar
lalu bersujud disana….”
Dan
sesuatu yang aku khawatirkan itu terjadi juga. Melihat darah keluar dari
kambing yang disayanginya, Mbah Gin jatuh pingsan. Sesaat terjadi kepanikan,
Mbah Gin digotong ke rumah Kaji Dolah, rumah terdekat dari area langgar.
Mata
Mbah Gin terpejam, ia seperti tidur nyenyak sekali. Lama ia tak sadarkan diri.
Kaji Dolah kemudian ikut membantu menyadarkan Mbah Gin dengan berbagai cara.
Namun ia tak kunjung bangun juga. Aku makin khawatir. Menjelang Azan Dzuhur,
tubuh perempuan tua itu baru bergerak-gerak. Aku dan Kaji Dolah mengucap
syukur.
***
Kini,
jika kau berkunjung ke dusunku, dan kebetulan waktu sholat tiba, datanglah ke langgar
itu. Kau akan memasuki sebuah langgar kecil namun terlihat bersih dan rapi. Suasana
sejuk dan tentram terasa sekali. Di sana akan kau temui seorang perempuan tua
namun masih terlihat gesit dan sehat sedang khusyu berdzikir di antara
kesibukannya merawat dan membersihkan rumah Tuhan tersebut. Dari kejauhan
tempat itu seperti bercahaya●
Kulonprogo, Agustus 2019
catatan:
1)
langgar:
surau. musala
2)
putih
memplak: putih semua (sangat putih)
3)
pawon:
dapur
4)
poel:
nama yang diberikan masyarakat untuk kondisi gigi hewan ternak yang menunjukkan
telah cukup usia dijadikan qurban
5)
shirathal
mustaqim: frasa dalam Surat Al Fatihah yang secara harfiah memiliki arti “jalan
(yang) lurus”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar