Pemberitahuan

Laman Sastra-Ku sedang dalam proses perbaikan, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Namun demikian, karya-karya tetap akan ditampilkan secara rutin.

Sabtu, 14 Mei 2022

 

K A R Y A

 

 

CUNONG NUNUK SURAJA

 

Samantha 25.00.30

 

setengah gelas es serut alpukat terpojok

bibirmu enggan menggores gincu di meja

setumpuk receh kembalian menemani serbet makan

tusuk gigi  bambu terjepit malu di lipat garis

 

lembar nota tercatat jejak gesekan kartu uang plastik

teremas bulat melayang ke tong sampah berdiri

menyapa salam pelanggan pulang pergi gegas

ditentengnya keperkasaan tergantung kunci

 

pertikaian berlanjut di kamar hotel

anggur sajian penyambut menghangatkan musim

tak perlu tergesa karena derit langkah peronda

 

perjalan detik berdetak di dada debur pantai

jejak panjang umang lokan kepiting menyimpan data

pergumulan dusta di ujung rubuhnya dermaga

 

Anyer 2020

 

Cunong Nunuk Suraja, Lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1951. Menyelesaikan Sarjana Muda Pendidikan di IKIP Yogya, S-1 diIKIP Rawamangun dan S-2 di UI. Mengajar di  FKIP-Universitas Ibn Khaldun Bogor. Puisinya masuk di puluhan buku antologi bersama: Jogja 5,9 Skala Ritcher (2006), G 30 September (2009), Gempa Padang (2010), Senandung Bandung Jilid 3 (2011), Bangga aku jadi rakyat Indonesia (2011), Suara-suara yang terpinggirkan (2012).  Tinggal di Bogor Jawa Barat.

 

 

*****_____*****

 

ARDHI RIDWANSYAH

 

Menepi Kembali 

 

Yang kosong terisi,

Meja dan kursi,

Duduk di antara sisa-sisa,

Kenangan yang membasi,

Di setiap sisi lingkup ruang dan waktu.

 

Menyendiri dan terlelap,

Menjelajah mimpi;

Menatap seorang anak kecil,

Menangis di tengah malam,

Kehilangan kisahnya,

Yang berlari dari diri,

Menjauh dan tak kembali.

 

Mengisap jempol,

Satu-satunya jalan,

Membakar telapak tangan,

Dan kakinya; menuju jalan terjal,

Berliku, berkerikil, kesakitan,

Tersungkur, merintih lalu tertawa,

Seolah jadi bagian dari cerita,

Yang sukar ditebak akhirnya.

 

Kembali menata air mata,

Menjadi catatan masa,

Menerjang hampa dengan gemuruh,

Hujan deras dan pecahnya kasih,

Dari segelas kopi,

Menepi kembali,

 

Jakarta, 2022

 

Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di beberapa media online. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di banyak media cetak maupun online. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta” E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah, Whatsaap: 087819823958.


*****_____*****


RAHAJENG

 

Payung dan Doa

 

di bawah payung

tubuh berlindung dari cuaca

dua musim yang karib di semesta

sedang doa membalut diri

dari rasa angkuh

 

antara payung dan doa

seperti dua pusaka

memberi aman bagi tubuh serta jiwa

berkah dalam hidup yang fana

 

Probolinggo, 22 Januari 2022

 


  Rahajeng Wydhartiningsih
lahir di Probolinggo, 12 April 1989. Aktif bergabung di Asqa Imagination School (AIS), Community Pena Terbang (COMPETER), dan Kelas Puisi Alit (KEPUL). Juara 2 dan 3 di Asqa Book Award 2021. Bisa dihubungi melalui IG: @rah.ajeng12

 

 

*****_____*****

 


Sabtu, 07 Mei 2022

K A R Y A

 

EFFENDI KADARISMAN

 

Bulan Sabit

         

Seperti sang pertapa turun bukit,

Kau tak lagi bicara tentang lapar dan dahaga

Tidak. Seluruhnya telah mengalir jadi rindu

Sungai sepanjang urat nadi

Tebing yang hening. Lukisan sunyi

pada baris dan bait: bulan sabit

 

Seperti ayat-ayat makrifat

Bukankah firman itu selalu menggetarkan hatimu?

Di tepi telaga Kautsar,

yang menjulang hanya Allāhu Akbar

Jejak yang begitu menyesak,

Sisa rindu yang tertahan

pada keajaiban malam seribu bulan

Sepotong sajak di langit: bulan sabit

 

Bening dan teduh,

Lembar-lembar ruh yang telah terbasuh

Adakah yang lebih jernih?

Kau naik teratak tangga sampai ke puncaknya:

Takwa. Tak ada lagi beban,

Merdeka dari semua penjara

 

Pada ufuk yang sejuk: bulan sabit

Kemenangan pun dimulai

Kawan, Selamat Idul Fitri

 

Malang, 1 Mei 2022

 

Effendi Kadarisman, mendapatkan gelar Ph.D. di bidang linguistik dari Universitas Hawai tahun 1999, dengan menulis disertasi tentang puitika Jawa. Selain menekuni linguistik, ia juga mencintai puisi. Ia telah menerbitkan empat antologi puisi : Tembang Kapang, Tembang Bebarayan (2007), Uncommon Thoughts an Common Things (2020), dan Aurora di Kutub Utara (2010), dan Selembar Daun Hering (2020 ) - antologi terakhir ini sempat ikut lomba pada Hari Puisi Indonesia tahun 2021; dari 167 buku puisi masuk ke tahap 15 nominees. Sebuah puisinya masuk antologi puisi Seribu Tahun Lagi (2021); dan dua puisi lainnya masuk antologi Dunia : Suara Penyair Mencatat Ingatan- yang akan terbit di tahun 2022 ini. Saat ini Effendi adalah guru besar linguistik dan pakar etnopuitika pada program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).

 

 *****_____*****

 

IKA ZARDY SALIHA

 

Kalifahing Bumi

 

 Jagad gumelar iki cinipta

Awit saka sih Kang Maha Kuwasa

Nanging jalma manungsa saakehe padha lali

Kabeh amung darbe rasa pengin swarga

Kabeh  ora  kapengin mlebu nraka

Ing ngalam donya pengin urip mulya

Adoh saka lelakon nelangsa 

 

Wus ngendika Gusti marang para malaikat :

“Waizdkoola Rabbuka Lilmakaikati, Inni Jaailun fil Ardli Khalifah”

“Sejatine dakciptaake manungsa ing bumi iku

Ora ana liya dadi khalifah”

 

Manungsa tinitah anggulawenthah minangka kalifah

Ing bumi kagungane Gusti kang endah

Apa bisa anyuwun suwarga anglalekake donya

Apa bisa anolak nraka anistha bawana

   

Pengasih, 25 April 2022


Ika Zardy Saliha adalah nama pena dari Barokatussolihah, S.Ag. M.S.I. Nenek ( 50 tahun ) dengan satu cucu ini memiliki hobi membaca, menulis, bernyanyi dan aktif dalam komunitas agama juga sosial. Pada Tahun 2020, mendapat tugas baru sebagai Pengawas Madrasah di Kulon Progo dari profesi semula guru bahasa Arab di MTs Negeri 3 dan MTs N 2 Kulon Progo, peraih juara 1 guru berprestasi nasional tahun 2016, mendapat penghargaan SC di UEF Finlandia (2017), menjadi sekretaris FKUB Kulon Progo, kontributor Jurnalis Madrasah. Baru menulis 90 buku dan 50 an artikel/opini yang terpublish di berbagai media. Tahun 2019 mendapat penghargaan sebagai guru inspiratif produktif dari Menteri Agama. Alamat Ika, di Perum. BSA 1 No. 32 Rt. 06 Kecamatan Pengasih Kulon Progo DIY 55652.

 

 


Senin, 02 Mei 2022

Kado Kemenangan

Cerpen Marwanto

 

 

Pada ulang tahunnya yang ke duapuluh tujuh,   laki-laki itu mendapat kado sebuah puisi dari sahabat tercinta

 

kulihat pohon yang basah

bersanding di batu

:diam,

mereka berbaris

menghamparkan kehidupan

:pasrah

kutatap mereka

kusadari diriku

adakah di sini

arti sebuah eksistensi ?

 

Puisi itu berjudul Lagu Batu. Dikirim dalam amplop tertutup dibawa burung yang terbang tinggi. Setelah melewati mega-mega, burung tadi hinggap di bebatuan  halaman belakang sebuah rumah. Di situ, seorang laki-laki sedang berlatih yoga.

Melihat ada amplop putih polos yang baru saja dijatuhkan seekor burung, ia segera menghampiri lalu membukanya. Setelah mem-baca  isinya ia memekik membelah angkasa:

 “aku bukan batu. Aku adalah rajawali yang terbang tinggi.....!!” 

Ia berontak, menjelajah cakrawala.

***

            Sepuluh tahun kemudian, dua lelaki itu duduk di taman. Mereka tentu masih ingat tentang puisi itu, seperti halnya pesan yang terlanjur terukir di batu nisan. Dan kini, untuk sesaat, mereka saling diam. Gemercik air di kolam memijit urat-urat yang kelelahan. Matahari di ufuk Barat tinggal seperempat. Dengan semburat kuning tembaga mengintip pergelaran jagad.

            “Sebenarnya kita belum terlalu tua ya ?”

            “Iya....”

            “Tapi,  ubanmu mulai nongol tanpa malu-malu...tuh.”

            “Dan kau,  cepat masuk angin......”

            “Ha...ha...ha....”  Keduanya terkekeh.

            “Mengapa manusia sekarang cepat tua ya?”

            “Tidak juga !”

            “Cuma gampang menyerah maksudmu !?”

            “Emh....., kita terlanjur punya banyak penyakit....”

            “Padahal, sepertinya baru kemarin kau menyelesaikan kitab Karl Marx, Nietzsche,  Freud...”

            “Dan,....ah,  aku masih ingat betul, bagaimana kau kelabakan menghadapi seranganku dan mati-matian membela Tuhan....”

            “Ingat betul ?”

            “Ya, malam sabtu yang larut ! Emm...... pertengahan Juni”.

            “Tapi waktu itu kita belum selesai !”

            “Benar, meski begitu kau hanya bisa menyuguhkan keindahan norma, bukan  tajamnya analisa.”

            “Ehmmm.....”

            “Dan sejak itu kita agak berjarak memang.  Sebab kau menjadi sering keluar masuk masjid kampus bersama orang-orang  berjenggot.  Padahal......”

            “Padahal Karl Marx juga berewok dan berjenggot kan  ?”

            “Tepat, ha...ha......haaa......”

***

            Sepuluh tahun mereka jarang bertemu muka. Hanya beberapa surat yang menyapa. Dan akhir-akhir ini pesan di gawai belaka. Dalam surat maupun pesan di gawai, mereka tak hanya bertukar kabar. Tapi diskusi tentang jalan yang sesak oleh semak belukar.

O ya, mereka pernah sekali bertemu: di Solo Jawa Tengah, di awal tahun milenium. Sebuah reuni kecil. Meski cuma dihadiri  lima orang, itu sebuah reuni yang komplit: ada birokrat, pekerja sosial (aktivisLSM), seniman,  pengusaha, dan pendidik yang merangkap seorang ustad.

Reuni itu juga tak lama. Sebuah siang yang pendek. Diisi sedikit diskusi dan makan ala kocek mahasiswa. Lalu  diakhiri sholat dan doa bareng yang dipimpin peserta tertua. Dalam sholat bareng itu ternyata hanya diikuti empat orang. Sementara yang seorang asyik menikmati es krim.

***

            “Oya, bagaimana kabar  teman-temanmu di  el.... ?”

            “Maaf, apa kita tidak punya tema lain ?”

            “Aee, ada apa denganmu kawan......”

            “Prosesku amat panjang sobat”

            “Maksudmu,  bukan hanya dengan mereka saja sehingga kau ......”

            “Aku memang pernah menyangsikan Tuhan......”

            “Tidak, kau seorang  atheis sejati !”

            “Seberapa  jauh  kau mengerti tentang ateis ?”

            “Buktinya, reuni di Solo itu  !”

            “Hanya itukah ?  Sekali lagi, prosesku amat panjang dan berliku kawan !”

            “Sepanjang batu menjadi rajawali......?”

            “Aku memang anak batu. Tapi bisa jadi rajawali. Dan aku pernah terbang tinggi”

            “Sangat tinggi sehingga kau lupa  sesungguhnya derajat kepala cuma serendah tanah ?”

            “Tapi.....”

            “Tapi apa ?”

            Ia diam sesaat. Dadanya megap-megap. Seperti bendungan yang menahan luapan air membuncah.

            “Tapi.......  kini semua itu telah berakhir !”

            Dan kini bendungan itu benar-benar ambrol, menyerah. Airnya menyebar ke segala arah.

            “Kau tak lagi seekor rajawali ?”

            “Terserah apa kau sebut, rajawali atau kembali jadi batu. Yang jelas,  semua itu telah berakhir..”

            “Berakhir ?”

            “Ya, ketika aku merasa telah kalah... “

            “Emmm...., maksudmu ?”

            “Saat itu anakku lahir “

            “Lalu....”

            “Aku tak tahu persis, apakah saat itu aku kembali jadi batu, tapi...”

            “Tapi apa ?”

            “Saat itu aku, aku tak hanya merasa merdu mendengar suara azan...”

            “Jadi...?”

            “Aku hendak mengumandangkannya !”

            Kembali hening. Ada sedikit ragu yang tergambar dari bola mata lelaki itu.

            “Tapi kau masih diliputi rasa ragu ?”

            “Ahh.. emmm. Sudah sering aku mendengar suara azan,  tapi baru saat itu aku ingin mengumandangkannya...”

            “Dan..... cuba kutebak. Kau pasti langsung bisa kan ?”

            “Mengapa kau  tahu ?”

            “Sebab, Tuhan tak pernah menutup pintu bagi hamba yang ingin mengetukNya”

            “Benar, aku langsung  bisa. Meski, meski mungkin kurang sempurna.”

            “Dan kau mengumandangkannya di telinga anakmu”

            “Iya,  aku pertama  kali mengumandangkan adzan di telinga anakku. Disaksikan derai air mata isteriku.”

            Kedua lelaki itu menghela napas panjang. Matahari di ufuk Barat telah terbenam. Suara azan Maghrib mulai berkumandang, tanda buka puasa penghabisan telah tiba. Ya, besok Idul Fitri akan tiba. Beberapa orang tampak berdatangan di mushola kecil yang terletak di ujung halaman rumah. Setelah menghabiskan satu kurma, salah satu dari lelaki itu  bangkit dari duduk.

            “Mengapa  tergesa ?”

            “Bukannya  tergesa, aku cuma mau ke mushola....”

            “Ke mushola ?”

            “Ya, bolehkah aku mengumandangkan azan di musholamu?”

            Mereka berangkulan. Setelah melepaskan pelukannya, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya:  sebuah kopiah

            “Kau ingat ini ?”

            “Pasti kawan“

            “Saat kau memberikan sebagai kado pernikahanku, aku merasa belum akan menyerah. Dan memang, saat itu aku tak menyerah, meski kau tulis di kado itu Tuhan telah mengetukku di acara akad nikah. Sejak itu, aku pikir selamanya tak akan menyerah, tak akan kalah.....”

            “Tidak kawan, itu bukan kekalahan, tapi kelahiran. Dan itulah  kemenangan sejati. Kau telah menemukan eksistensi !”

            Dua lelaki itu berjalan beriringan menuju mushola. Disambut gema takbir yang menggelora di penjuru jagad raya......***

Wisma Aksara, 2006

 

 

Marwanto, menulis  esai, cerpen, puisi, opini, dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Suara Karya, Harian Jogja, Suara Merdeka, Solopos), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Hai), tabloid (Adil) buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Buku cerpen terbarunya: Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021). Mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo  serta membina komunitas Sastra-Ku.


Terbaru