IBU TAK PERLU BOHONG TENTANG SIAPA GURITNO
Cerpen Marlin Dinamikanto
Rontok sudah harapan Mursilah. Janin di perutnya tidak diakui Guritno,
pacarnya. Mursilah sedih. Berhari-hari mengurung diri dalam kamar. Simboknya,
Warsini, belum tahu ada bayi kecil menendang-nendang dari dalam perutnya.
“Aku kan hanya sekali,” begitu jawaban Guritno saat Mursilah menuntut
pertanggung-jawaban di atas surat pernyataan bermaterai yang drafnya sudah dia
siapkan dari kontrakan.
Mursilah mencoba mengingat-ingat lagi. Terbayang wajah Agus. Tapi itu
tidak mungkin. Meskipun paling sering, setidaknya sudah lima kali, tapi
kejadiannya sudah dua tahun yang lalu. Saat dirinya masih kerja di perusahaan
juragan Mardi. Kerja di bagian kasir. Aguslah yang sering mendatangi bilik
kecil di belakang gudang, tempatnya membagi uang bensin, uang makan dan lainnya,
termasuk kasbon.
Agus orangnya memang ganteng. LGBT, begitu Mursilah memanggilnya. Bukan
gay atau hombreng. Melainkan lelaki ganteng berpipi tembem. Dia paling rajin
kasbon. Jurus maut kasbonnya itu yang membuatnya tergila-gila. Mursilah jatuh
cinta entah pada pandangan ke berapa. Karena itu pula Mursilah dilabrak
istrinya.
Juragan Mardi yang memiliki perusahaan angkutan barang, toko bangunan,
toko hasil bumi hampir di semua pasar Gunungkidul, kontraktor, penyewaan alat
berat dan masih banyak lagi memang memiliki 327 karyawan tetap, di antaranya
sopir truk seperti Agus. Jumlah truknya saja ada 102 unit. Agus termasuk sopir
truk yang dipercaya mengirim gaplek ke pelabuhan Cilacap.
Kalau pengiriman jatuh hari Sabtu sore, Mursilah pasti diajaknya. Sujar,
kernet baru yang diam-diam menaruh hati pada Mursilah membocorkan percintaan
gelap itu. Rupanya Sujar sakit hati karena sering disuruh memotret adagen mesra
keduanya dari kamera poket yang berisi 36 film itu. Diam-diam film itu
dicucinya dan dijadikan barang bukti untuk melaporkan Agus ke istrinya.
Juragan Mardi tak mau ada ribut-ribut di perusahaannya. Mursilah pun
diberhentikan dengan pesangon dua kali gaji atau Rp250.000 dan selembar
referensi supaya cepat mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Gaji Rp 125 tibu
per bulan di tahun 1987 sudah terhitung besar. Mursilah yang lulusan SMK pun
diajak Sutini yang hanya lulusan SMP bekerja di pabrik sepatu Tangerang.
Meninggalkan Warsini simboknya yang jualan dawet di depan sekolahan SDN
Kalangan yang sekarang sudah bubar.
Nah, di pabrik sepatu itu Mursilah berkenalan dengan Guritno. Orangnya
biasa saja tapi pengertian. Sudah itu sering antar jemput dari kontrakan ke
pabrik dengan sepeda motor Honda Astrea yang dibelinya dengan uang warisan
embahnya. Lumayan. Setidaknya selama pacaran dengan Satpam pabrik asal Ngawi,
Jawa Timur, itu, Mursilah bisa irit biaya transport.
Suatu saat muncul kejadian yang sebenarnya sudah dia hindari. Kala itu
Guritno main ke kontrakannya. Membawa minuman kemasan. Setelah minum kepalanya
pusing. Mursilah baru sadar telah dikerjai Guritno. Saat bangun tidur dirinya
tak mengenakan selembar pakaian pun. Tiga bulan setelah itu mereka putus.
Guritno yang sudah pasti tidak perjaka lagi sering mengungkit dirinya tidak
perawan.
*
Mursilah sadar ada kelainan dalam dirinya setelah sering mual-mual.
Beberapa bulan berikutnya seperti ada yang menendang-nendang dari dalam
perutnya. Hamil. Mursilah pun kebingungan.
“Ini pasti perbuatan Guritno,” tuding Mursilah saat menyiapkan blanko
surat pernyataan bermaterai tahun 1988 senilai Rp1000 yang ternyata ditolak
Guritno. Lelaki yang ternyata duda beranak dua itu enggan bertanggung-jawab
dengan alasan baru melakukannya satu kali.
“Kamu kan sudah tidak perawan?” ucapnya kala itu.
Persoalan ini didengar Sutini yang juga masih tetangga desa di
Karangduwet. Dia cerita, kakak kandungnya sudah berumur 52 tahun tapi belum
beristri. Pekerjaannya seperti Agus, sopir trailer yang sering berminggu-minggu
ke luar kota. Meskipun selisih usia 29 tahun, Mursilah tidak keberatan
dikenalkan dengan Sutris, nama lelaki itu.
Sutris pun sepertinya kesengsem dengan Mursilah yang menurutnya mirip Nia
Daniati. Meskipun sudah berbadan dua tapi Sutris tidak keberatan menikahinya.
Tapi sayang. Pernikahannya ditolak karena Pak Pengulu tahu calon mempelai
perempuan sudah hamil. Maka Mursilah diungsikan ke rumah embahnya di Klaten.
Setelah anaknya lahir pada 19 Maret 1989 baru keduanya menikah.
“Jangan khawatir Mur, dia aku anggap anak sendiri,” ucapnya saat jabang
bayi lahir.
Jabang bayi itu diberi nama Ahmad Mursi Trisno Negoro. Tapi pasangan itu
memanggilnya dengan nama Kelik. Panggilan untuk anak lelaki bagi orang Jawa
pada umumnya.
Sutris sangat menyayangi Kelik. Sejak PAUD, TK hingga sekolah dasar,
kalau sedang tidak membawa trailer ke luar kota, Sutris lah yang bertugas antar
jemput. Begitu pun dengan Kelik. Dia sangat manja apabila bapaknya ada di
rumah.
“Apa cita-citamu, Lik?” tanya Sutris saat Kelik sekolah Taman Kanak-Kanak
yang setiap Sabtu mengenakan seragam polisi.
“Polici,” jawabnya tegas.
“Jangan, nak,”
“Polici kan bagus? Nembak penjahat dol dol dol,”
“Iya, polisi bagus. Tapi kan dia sering menilang bapak?”
“Apa itu menilang? Enggak, pokoknya polici. Tembak penjahat dol do dol,”
Kelik bertambah manja dengan bapaknya, karena dari pernikahan
Sutris-Mursilah tidak dikaruniai keturunan. Sejak sering main ke Warnet dekat
rumahnya, Kelik keranjingan dengan komputer. Software komputer di warnet
berantakan karena dipraknya. Sutris terpaksa menggantinya.
Kelik pun semakin serius belajar komputer, baik hardware maupun softwarenya.
Istilah chip, motherboard, Microsoft, Linux, bukan istilah asing bagi anak
kelas 2 SMP ini. Sutris pun memberinya fasilitas personal computer dan laptop.
Kelik pun kursus komputer hingga jenjang yang membuatnya begitu mahir membuat
game dan aplikasi.
Demi menopang kebutuhan anaknya, hingga umur 68 tahun, saat Kelik baru 15
tahun, Sutris masih rajin keluar kota membawa trailer. Suatu saat Mursilah
mendapat kabar. Suaminya meninggal dunia di sebuah pangkalan truk di
Bukitkemuning, Lampung. Rupanya dia terkena serangan jantung dan dikira masuk
angin maka dia minta kernetnya mengeroki. Setelah itu dia tidur selama-lamanya.
Kala itu Kelik tumbuh menjadi manusia cerdas. Meskipun masih kelas 1 SMA
dia sudah sering mendapat order menginstal windows dari pemilik PC dan laptop
di sekitar rumahnya. Dia juga menerima orderan service HP Nokia, Motorola,
Erickson, Siemens dan lainnya dari teman sekolah dan tetangganya. Maka dia
sudah memiliki penghasilan sendiri, sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai
staff Tata Usaha di SMA swasta yang tak jauh dari rumahnya.
Lulus SMA dia sebenarnya mendapatkan bea siswa sekolah ke Amerika. Tapi
Mursilah, ibunya, tidak mengizikannya. Akhirnya Kelik mengambil bea-siswa
sekolah di Institut Teknologi Bandung yang ditempuhnya tepat selama 4 tahun.
Kepandaiannya bergaul membuat Kelik diajak anak-anak orang kaya membuat
perusahaan yang lebih dikenal dengan nama Startup, sejenis Gojek, Traveloka,
dan apapun yang ada hubungannya dengan jaringan komputer.
Perusahaannya juga membuat beragam aplikasi yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Dengan dukungan kawan-kawannya akhirnya Kelik memiliki perusahaan
Startup sendiri. Dalam waktu singkat Kelik bisa menghidupi ibunya. Makam
bapaknya pun dipindah dari sebuah TPU sederhana di Balaraja, Tangerang, ke
Sandiego Hill. Kelik pun tinggal di kawasan kelas menengah di Serpong.
Toh begitu Mursilah tidak mau menuruti nasehat anaknya agar berhenti
menjadi staff tata usaha di sekolah swasta yang gajinya pas-pasan. “Hidup ini
bukan sekedar mencari uang Lik. Kalau ibu nganggur di rumah nanti cepat mati
lho,” ucapnya sambil mengelus-elus rambut gondrong Ahmad Mursi Trisno Negoro
yang sekarang bahkan oleh semua orang dipanggil Kelik.
*
Suatu saat datang seorang lelaki paruh baya ke kantornya. Umurnya sedikit
lebih tua dari ibunya. Dan ini aneh. Wajah lelaki itu sangat mirip dengannya.
Seperti pinang dibelah dua. Mungkin dia adalah anak dari kakeknya yang memang
memiliki 12 istri. Di Gunungkidul saja ada 4. Belum lagi di Boyolali, Klaten,
Sukoharjo. Setidaknya itu kata Bulek Sutini, adik bapaknya.
Sedangkan Warsini yang ketika masih hidup dipanggilnya Mbah Wedok, hanya
punya anak tunggal bernama Mursilah. Kabarnya setelah Mursilah - ibunya -
lahir, Mbah Lanang pergi ke Klaten dan tak pernah pulang ke Dusun Karangduwet.
Beruntunglah dirinya, punya bapak bernama Sutris. Tidak single parent seperti
Mbah Wedok yang mengurus ibunya.
Tapi itu tak mungkin. Lelaki itu mengaku dari Ngawi. Meskipun Kelik
mencintai Sutris, bapaknya, dengan sepenuh jiwa, sejak kecil hingga dewasa dia
sering mendengar gosip, Sutris bukan bapak biologisnya. Jadi sejak pandangan
pertama menatap lelaki itu, Kelik sudah berfirasat dia lah bapak biologisnya.
“Maaf, apakah bapak masih ada hubungan keluarga dengan saya?” sapa Kelik
setelah lebih dari sepuluh menit terlibat obrolan tentang fogging yang menjadi
alasan lelaki itu datang ke kantornya.
“Oh, bukan. Nama saya Guritno, dulu pernah sama-sama bekerja di pabrik
sepatu dengan ibu anda yang bernama Mursilah,” jawab Guritno, nama lelaki itu
“Jadi Pak Guritno asal Gunungkidul juga, seperti ibu saya?” selidik
Kelik.
“Bukan. Ibu anda asal Gunungkidul, sedangkan saya asal Ngawi. Tidakkah
ibu anda pernah bercerita tentang Guritno?”
“Tidak. Ibu saya tidak pernah bercerita tentang Guritno,” jawab Kelik
dengan nada tersekat.
“Saya sangat memaklumi kalau ibu
Anda tidak pernah bercerita tentang Guritno. Ya sudah, saya senang melihat anda
tumbuh dewasa dan sukses. Semoga ayah anda Sutris bahagia melihat anaknya
sukses dari alam sana. Saya mohon pamit dulu,” ujar lelaki paruh baya itu yang
tiba-tiba lupa menawarkan jasa fogging untuk mengusir nyamuk di kantornya.
Setelah tercenung, kaki Kelik pun ikut terseret mengejar lelaki itu yang
masih menunggu lift di depan ruang resepsionis. Ada hal yang menggerakkan
hatinya. Dia ingin memastikan itu. Bukan karena tidak mencintai Sutris bapak
yang merawatnya sejak bayi hingga membesarkannya. Namun demi kejelasan asal
usul dirinya.
“Sekali lagi saya mau tanya, apakah Om Guritno masih ada hubungan
keluarga dengan saya?” tanya Kelik di depan lift yang mulai terbuka.
“Tidak. Saya hanya teman Mursilah, ibu anda” katanya sambil buru-buru
masuk ke lift yang sudah terbuka.
Kelik terdiam. Kedatangan lelaki misterius itu mengganjal hatinya. Maka
dia pun ingin buru-buru menemui ibunya. Tidak cukup hanya lewat telepon,
WhatsApp atau Sort Message Service. Tiba-tiba dia ingin bertanya lebih gamblang
tentang cerita di balik semua ini. Kelik tahu, lelaki yang wajahnya sangat
persis dengannya itu bapak biologisnya.
“Bu, tadi ada bapak-bapak datang ke kantor. Ngakunya bekas teman ibu dan
bulek Sutini waktu bekerja di Pabrik Sepatu. Namanya Om Guritno,” ucap Kelik.
“Guritno?”
“Tadinya saya pikir masih saudara. Lha wong wajahnya mirip sama aku. Tapi
nggak tahunya orang itu ngaku dari Ngawi. Ibu pernah dengar nama itu?”
Nama Guritno sebenarnya telah dikubur dalam ingatannya. Mungkin, suatu
saat Kelik mesti tahu siapa dia yang
sebenarnya. Tapi untuk apa? Bagaimana dengan Almarhum Sutris yang mencintainya
sepenuh jiwa? Apa pula tanggapan dia tentang perilaku ibunya kalau dia tahu
riwayat yang sebenarnya? Tapi dia tidak boleh terlalu lama bertanya-tanya.
“Ya, dia teman ibu waktu kerja di pabrik sepatu. Dului ibu sangat
membencinya. Mungkin karena dia sering ganti-ganti cewek. Karena benci itu
mungkin wajahnya nurun sama kamu. Tapi ibu sekarang sudah lupa yang namanya
membenci orang. Mbok tadi kamu ajak mampir ke rumah,” jawab ibunya yang dia
tahu bersandiwara.
“Orang itu keburu pergi,” sahutnya, lirih.
Sebenarnya ibunya tak perlu bohong. Sejak kecil dia sudah tahu siapa
dirinya. Dia lahir bukan di tempat terpencil yang kedap informasi. Sejak SMP
pun dia sudah tahu, Sutris bukan bapak biologisnya. Hanya Kelik tidak ingin
mengungkit kenangan buruk ibunya.
Maka Kelik mengurungkan niatnya ingin tahu lebih tentang jalannya cerita
yang membuatnya ada di muka bumi. []
Martupat, 30 November 2017
Marlin
Dinamikanto, lahir di Yogyakarta hingga uzurnya terus mengembara. Saat muda pernah
belajar puisi pada mendiang Soewarno Pragolopati. Setelah berkiprah sebagai
aktivis dan jurnalis serta mendapatkan penghasilan dari ghost-writer, sejak
2010 hingga sekarang kembali berpuisi. Buku puisi tunggalnya: Yang Terasing dan Mampus (2018) dan Menyapa Cinta (2020).