Jumat, 12 September 2025

 K A R Y A

 

EVA NURUL KHASANAH

 

Pergi

 

Dari gedung-gedung bertingkat itu

ku lihat kau hilang dalam keramaian

diatas huru-hara yang kian sepi.

 

Tidak berhenti disana

kabar yang terus bermunculan

perlahan menghapus jejak mu.

 

Dari gedung-gedung bertingkat itu

kau tidak pernah dikenal lagi.

Kau berhasil menemukan jalan untuk pergi.

Tanpa sempat berpamitan.

 

Sidorejo, 02 Juni 2025

 

Rekah

 

Dia terus berputar.

Dalam jiwanya bergeming.

Bergema khawatir demi khawatir.

Mengucap langkah getir.

 

Diam menaruh rapuh.

Memilah mana arah.

Memilih berbisik lirih.

Menoreh tanpa menoleh.

 

Jiwa yang menjadi.

Jadilah.

Rekah.

 

Sidorejo, 10 September 2025

 

Eva Nurul Khasanah, lahir di bulan Juni. Bermula dari hobi nulis satu, dua, tiga bait tanpa judul apa yang dirasa, dilihat, didengar atau sekedar unek-uneknya. Kecintaan menulisnya terus bertambah seiring waktu dan terus bertambah setelah tergabung di Komunitas Sastra-Ku (Komunitas Sastra Kulon Progo). Sehingga ia lebih aktif menulis, terkhusus dalam genre puisi. Mengikuti berbagai kegiatan sastra melalui komunitas telah membuatnya melahirkan karya-karya. Beberapa puisi tersiar di berbagai media online maupun buku antologi bersama dan majalah. Sekumpulan puisinya berjumlah 115 judul baru saja terbit Juni 2025 dengan judul buku "AMBANG GARIS".

Jumat, 05 September 2025

 

LAND OF THE IMMORTALS

Cerpen Okti Setiyani


     “Apakah cintaku akan abadi atau malah hilang ditelan tanah abadi ini?” 

            Tokyo, Jepang.

            Suara deru kereta di musim dingin itu terasa begitu biasa di telinga. Tidak ada yang spesial. Aku hidup dengan sistem yang begitu ketat, seolah dikejar waktu dan kesibukan. Semua hanyalah tentang disiplin dalam belajar dan bekerja, lalu mendapatkan prestasi setinggi-tingginya. Ya, inilah hidupku di kota kelahiran yang dikenal sebagai negeri matahari terbit, di mana orang-orang dari penjuru negeri begitu kegum dengan kedisiplinan kami. Namun, aku merasa ada sesuatu yang masih kosong dalam hidupku. Ada lubang yang seolah belum terisi di dalam sana. Seperti yang aku katakan sebelumnya tidak ada yang spesial.


            Aku sudah biasa dengan berdesak-desakan di kereta bawah tanah dan berakhir bergelayut karena tidak kebagian tempat duduk. Oh, ada yang berbeda hari ini, yaitu kedatangan kereta yang lebih awal alias maju 2 menit dari jadwalnya. Dua menit adalah waktu yang berharga bagi kami. Lagi-lagi hanya karena hal sederhana tersebut, banyak mahasiswa dari negara lain begitu terkagum-kagum.


            Uzai! Menjengkelkan!” gumamku lirih sambil mengamati pria berbadan kekar, pria berjas rapi dan wajah-wajah Eropa yang duduk di kereta, bersantai sambil memainkan gadgetnya. Bukannya aku iri dengan kursi yang mereka duduki, melainkan apakah mereka memiliki hati nurani sehingga membiarkan seorang nenek yang tidak kebagian kursi prioritas sedang bergelayut di sampingku.


            Sejurus kemudian, hatiku bergetar melihat seorang pria berkaca mata dengan wajah Asia berkulit kecoklatan. Aku pikir ia adalah orang Indonesia karena aku memiliki beberapa teman Indonesia yang wajahnya tidak jauh-jauh darinya. Pria berkaca mata itu berdiri dari kursinya dan mempersilahkan nenek-nenek di sampingku. Bergantilah sosok yang ada di sampingku dengan dirinya. Selama di lima menit perjalanan, aku mencoba mengamatinya. Badan tegap dan tidak terlalu tinggi dibalut jaket hitam panjang hampir selutut, celana hitam dan sepatu bertali warna putih. Ia cukup stylish. Ketika ia menoleh padaku, ia memamerkan senyum dan anggukan kecil yang berhasil membuat detak jantungku meningkat drastis. Ah, kenapa aku ini, ia hanya seorang pria asing yang baik.


            Matahari di musim dingin tidak berhasil membuat badan terasa hangat. Bahkan dengan jaket tebal pun dingin masih menusuk-nusuk kulitku. Bangunan megah sekaligus kuno langsung menyambut indera penglihatanku ketika turun dari mobil, di hari pertama perkuliahan Magister itu ibuku sangat ingin mengantarku ke kampus terbaik nomor dua di Jepang itu, University of Tokyo. Kampus yang harus aku dapatkan dengan kerja keras agar ibuku senang.

            “Hai Kotoko-chan!” ujarku pada sahabatku yang sudah duduk manis di bangku terdepan kelas. Kotoko adalah sahabatku sejak S1, bahkan lagi-lagi kami bersama saat S2.

 “Eh, sini Hotaru-chan ” balas gadis dengan rambut panjang yang dikuncir itu.

            Baru beberapa menit kami berbincang tentang hari kedua masa magister ini. Dosen datang tepat waktu, diikuti lima pria dengan berbagai ciri. Dua pria berambut pirang dengan mata biru, pastilah Eropa. Dua pria berkulit putih dengan mata sipit, pastilah dari China atau Korea. Lalu satu pria berkulit coklat berperawakan tidak terlalu tinggi, yang berhasil membuat senyumku mengembang. Ya, pria itu, pria yang aku temui di kereta bawah tanah.

            Satu per satu mereka mulai memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris, tentu karena perkuliahan dilakukand dengan bahasa Inggris. Telingaku menjadi sangat peka ketika pria berkulit coklat itu memperkenalkan diri. “Hello, I am Muhammad Zulfikar Al Fatih from Indonesia...” kata pria itu, namanya yang langsung menancap ke dalam otakku dan aku sadar bahwa ia adalah orang Islam. Islam yang terkenal dengan hati yang lembut, sikap yang sopan dan jiwa yang tenang.

*

            Hari berganti hari, tetapi musim dingin belum juga berakhir. Tidak aku sangka, takdir menuntun kami menjadi satu kelompok dalam sebuah penelitian, hanya aku dan dia. Bagaimana dengan perasaanku? Entahlah, lupakan soal hal itu dan aku harus fokus dengan penelitian yang kami lakukan. Psikologi Kognitif adalah jurusan kami jadi fokus studi adalah mengenai proses berpikir manusia. 

            Makan siang setelah perkuliahan hari ini terasa berbeda, bukan karena musim telah berganti melainkan karena aku duduk berhadap-hadapan dengannya. Ini bukan sesuatu yang spesial, semua ini karena takdir yang digariskan.

            “Zul” begitu aku memanggilnya, ia belum lancar menggunakan bahasa Jepang, jadilah aku harus berbicara bahasa Inggris dengannya. Namun, aku menyukai semangatnya untuk terus menerus mencoba berbicara dengan bahasa Jepang walaupun seadanya.

“Pernahkah kamu ke Okinawa?” tanyanya dengan bahasa yang campur aduk.

            “Belum. Kenapa?” jawabku jujur, ya aku memang lahir di Tokyo dan bekerja keras bersaing untuk bersekolah di Tokyo.

            “Bukankah di sana termasuk Blue Zone, di mana para penduduknya memiliki umur yang panjang? Aku pernah membacanya di buku berjudul Ikigai....” ujarnya sambil memindahkan tangerin dari tempat makannya ke tempat makan milikku. “Untukmu, kamu suka tangerin bukan?” katanya sambil berlalu, di mana aku masih terpaku, sejurus kemudian ia kembali dengan membawa dua gelas air putih. Jantungku tak karuan lebih dari biasanya, padahal ia hanya melakukan hal-hal yang biasa Kotoko lakukan padaku.

*

Okinawa, Jepang

            Dua jam lima puluh delapan menit kami lalui melalui perjalanan udara, hal itu karena akan sangat panjang perjalanan melalui jalur darat. Aku tidak yakin dapat terus bertahan bersamanya selama seminggu di pulau barat daya Jepang itu. Apakah aku akan jatuh cinta pada orang asing?

            Okinawa memiliki musim yang berbeda dengan Tokyo, saat Tokyo mengalami musim dingin, di Okinawa adalah musim semi. Sehingga kami langsung disambut oleh bunga Cosmos berwarna pink yang sedang bermekaran di akhir Februari ini. Patung singa atau Shisa juga menyambut kedatangan kami. Penginapan berarsitektur Ryukyu yang bercirikan rumah berukuran rendah, genting merah dan taman bertembok batu, menjadi pilihan kami.

            Aku mengikuti pria berransel besar itu memasuki penginapan tradisional, di mana aroma tikar tatami dan kayu menginvasi penciumanku. Aku intip bagian luarnya, di mana mataku disambut dengan teras besar dan pemandangan pepohonan yang asri, sangat indah. “Maasyaallah.” gumamnya tak kumengerti.

“Pantai Emerland hanya 10 menit loh dari sini. ” ujar pelayan wanita yang berjaga.

            Zul tampak tidak tertarik dengan tawaran wisata, mungkin ia benar-beanr fokus untuk penelitian selama tujuh hari ini. “Kami pesan 2 kamar.” kata Zul.

            Setelah bersih-bersih dan istirahat sebentar, Zul mengirim pesan bahwa kami harus segera mencari bahan penelitian. Namun, sudah lima menit, ia belum juga muncul di ruang tunggu. Akhirnya aku mengetuk pintu kamarnya yang terbuat dari kayu, pintu itu ternyata tidak dikunci, perlahan aku membukanya dan tampaklah ia sedang melakukan sujud. “Ah, benar, ia Islam.” Aku terus memperhatikannya bahkan hingga ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia terlihat begitu tenang.

“Maaf membuatmu menunggu.   

            Aku tersentak, sejak kapan ia berdiri dan menatapku? Apa aku melamun? “Maaf, aku sudah menganggu privasimu.” ujarku dengan nada menyesal, berharap pria itu tidak marah padaku.

            “Tidak apa-apa.” ujarnya dengan senyum manis, aku yakin jika terus menerus mendapatkan senyum itu aku benar-benar akan jatuh cinta padanya. Orang Jepang biasanya lebih nyaman menggunakan kata suka daripada cinta, kami berpikir bahwa makna cinta itu terlalu dalam dan serius. Namun, kali ini aku merasa bahwa ungkapan suka tidak cukup untuk mewakili perasaanku yang tidak karuan akhir-akhir ini.

            Kami menyusuri setiap sudut pedesaan yang tidak jauh dari penginapan, di mana udara begitu sejuk dan lingkungan asri. Dengan kamera yang dibawanya dari Indonesia, ia membidik setiap sudut perkampungan. Penginapan kami terletak di dalam sebuah perkampungan, di mana kami berencana untuk mengadakan penelitian dengan mewawancarai penduduk di sekitar sana.

            “Boleh titip sebentar.” ujarnya sambil mengulurkan kamera padaku, ia memberi isyarat akan mendekati seorang nenek yang duduk sendirian di sebuah halte bus sederhana.

            “Selamat siang Nek, perkenalkan saya Zul....” Suara itu samar-samar aku dengar. Aku tidak berniat ikut memperkenalkan diri, aku malah berjalan ke sana ke mari mencari spot foto yang bagus. Mungkin aku memang memiliki sifat cuek. Aku tidak menghiraukan percakapan mereka, malah sibuk memotret lingkungan dengan kamera miliknya. Sejurus kemudian,                 “Hotaru!” teriaknya sambil menarik pundakku ke belakang hingga aku membentur dadanya cepat. Namun, ia langsung melepas tangannya dari pundakku. Tentu saja aku tahu bahwa Islam membatasi kontak fisik antar lawan jenis.

            “Kamu harus hati-hati! Astaghfirullah, kamu membuatku takut....” Hampir saja aku menjerit saat mengalihkan kamera dari pandanganku, bahwa aku berada di tepi jurang dan hampir saja melangkah ke dalamnya. Sepertinya aku terlalu fokus memotret sehingga lupa bahwa perkampungan itu terletak di sebuah bukit, di mana jurang ada di mana-mana.

“Maaf.. ” ujarku begitu ceroboh.

“Baiklah, aku akan lebih ketat mengawasimu.  ” ujarnya dengan tawa kecil yang berhasil

membuatku ingin berteriak karena kepedean. Fyi, besok kita akan mendapatkan tour guide gratis dari nenek-nenek tadi.”

*

            Suara hewan-hewan kecil di pagi hari berhasil membangunkanku dari tidur lelap karena kelelahan. Saat aku membuka mata aku sadar ternyata Bumi sudah terang. Tiba-tiba saja, aku merasa sangat bersemangat mengingat bahwa acara menjelajah land of the immortals bersamanya akan segera dimulai.

            “Biar aku yang berjalan duluan.” ujarnya melihatku kesusahan mengikuti ketangkasan tour guide kami – yaitu nenek Riko, saat membelah dedaunan yang menutupi jalan kecil menuju perkampungan dalam. Kenapa kamu sangat baik, apa kamu juga memperlakukan semua orang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku selama perjalanan, tiba-tiba saja kami sampai di sebuah sungai beraliran deras dengan bebatuan yang besar. Nenek Riko seperti seorang Tarzan yang begitu lincah melompat dari batu satu ke batu lainnya.

            Zul menoleh padaku, ya ia pasti tahu bahwa fisikku memang tidak terlalu baik. Ia mengulurkan lengannya yang berbalut kaos hitam panjang padaku, aku tahu ia awalnya ragu untuk melakukannya, pastilah karena keyakinannya. Namun, karena keadaan yang memaksa, aku pun bisa memegang lengan berbalut kaos itu. Apa kamu sedang mengerjaiku dengan membuatku jatuh cinta selama satu minggu ini, Zul?

            Indera penglihatanku disuguhi keindahan hutan yang begitu terjaga. Pohon-pohon yang menjulang tinggi dan sinar musim semi yang hangat. “Kita sampai!” teriak Nenek Riko ketika ia berdiri di depan gerbang sebuah perkampungan. Inilah tempat di mana rahasia orang-orang berumur panjang berada.

            Penelitian kami bukan berfokus pada faktor-faktor yang membuat mereka berumur panjang, melainkan berfokus pada mindset yang mereka kembangkan. Satu per satu kami mewawancarai penduduk di sana, memang benar bahwa banyak sekali lansia berusia lebih dari seratus tahun yang masih sehat dan begitu gembira.

“Apakah Hotaru juga akan berumur lebih dari 100 tahun?” tanyanya tiba-tiba. “Mungkin, apakah kita akan bertemu saat berumur 100 tahun?”

Zul tertawa terbahak-bahak, mungkin ia benar-benar membayangkan jika kami bertemu saat berusia 100 tahun dengan bentuk yang pastinya sudah berbeda. Padahal sebenarnya aku berharap kita tidak akan bertemu ketika berumur 100 tahun, melainkan bersama selama waktu itu. Sepertinya aku benar-benar menyukainya. Ya, aku mengaku pada diriku sendiri bahwa aku jatuh cinta padanya.

“Apa motivasimu kuliah ke Jepang?” tanyaku penasaran.

            “Aku ingin daerahku lebih maju, aku tinggal di pinggiran Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kulon Progo di mana pendidikan dan lainnaya masih sangat tertinggal. Aku berharap bisa mencontoh hal-hal kecil yang membuat Jepang maju. Juga bisa mengaplikasikan ilmuku untuk pondokku. Apa kamu tahu apa itu pesantren atau boarding school keagamaan. Jadi nenek kakekku membangunnya dan aku sebagai anak laki-laki tertua harus melanjutkannya.” Jelasnya membuatku mengerti bahwa Zul bukanlah orang biasa, ia merupakan orang penting dalam keluarganya dan memiliki tanggung jawab yang besar pula.

“Apa setelah S2 kamu akan pulang?”

            “Tentu saja, kecuali ada hal yang perlu aku lakukan di sini.” Kami saling diam sejenak.             “Apa pendapatmu tentang orang Indonesia?”

            “Mereka romantis.” jawabku tanpa pikir panjang, membuatku malu dan berharap dapat menariknya. Kenapa aku mengatakannya?

            “Aku pikir orang Indonesia sangat tidak romantis, eh aku juga tidak tahu karena aku tidak pernah pacaran.”

“Belum pernah?”

            Ia mengangguk dan aku merasa kesempatan besar ada di tanganku. “Bagaimana denganmu?”

            “Pernah, saat S1.” Aku berharap ia memberikan pertanyaan tentang hubunganku yang sudah berakhir atau belum, tetapi ia malah merespon dengan anggukan saja, akhirnya aku pun memberikan penjelasan agar ia tidak salah paham. “Itu Cuma pas S1 dan main-main saja.” lagi-lagi, ia hanya mengangguk-angguk, sepertinya tidak tertarik dengan kisahku.

*

              Penelitian kami selesai di hari keenam, kami tinggal menuliskannya secara rapi ketika sampai di Tokyo nanti. Di hari ketujuh tiba-tiba ia mengajakku berlibur entah ke mana, yang penting ia ingin menghabiskan hari terakhir untuk berjalan-jalan tanpa ada kata penelitian. Berbekal saran dari penjaga penginapan, kami pun berangkat ke Igeku, Kota Kin menggunakan transportasi bus selama kurang lebih setengah jam.

            Bus di Okinawa, tepatnya di daerah terpencil di mana penginapan berada, penumpang tidaklah berdesak-desakan seperti di Tokyo hingga membuatku harus bergelantung bak monyet di dalamnya. Bus berhenti di halte Igeku, di mana hamparan bunga Cosmos yang sedang bermekaran langsung menyambut indera penglihatan kami. Berhektar-hektar lahan seolah berubah menjadi karpet berwarna pink karena bunga-bunga yang mekar.

            Zul diam saja, senyumnya mengembang dan matanya mengisyaratkan ketakjuban yang luar biasa. “Maasyaallah...” gumamnya lirih, awalnya aku tidak mengerti apa yang dimaksudnya, tetapi lama kelamaan aku mengerti bahwa ia mengucapkan kekaguman dengan apa yang dilihatnya.

“Kamu boleh memetik 20 tangkai bunga di festival bunga Cosmos...”

            Ia menoleh padaku, tatapannya begitu antusias. “Benarkah?” Tanpa menunggu jawabanku, ia pun sibuk memetik bunga-bunga cantik itu.

            “Langit hari ini begitu cerah....” gumamku merasakan sinar matahari yang mulai meninggi.

“Untuk temanku, Hotaru, karena sangat baik padaku.” ujarnya dengan senyum tulus.

            Aku tidak tahu bagaimana akhir kisah ini. Di mana dua orang anak manusia dengan latar belakang yang sangat berbeda, bahasa berbeda, agama berbeda dan juga pemikiran yang berbeda akan melewati hari-hari setelah 7 hari bersama di Okinawa ini, di tanah abadi ini. Aku tidak tahu apakah kita akan bersama dengan berbagai perbedaan yang ada atau saling melupakan, mengubur dalam-dalam kenangan. Aku tahu ini akan menjadi rumit ketika hati saling terpaut. Namun, juga begitu rumit jika hati tidak terpaut karena hatiku sudah jatuh padamu, Muhammad Zulfikar Al-Fatih.


Okti Setiyani, gadis kelahiran 1999 ini adalah lulusan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Hobinya menendang, memukul, membaca, menulis dan mengkhayal. Beberapa karya solonya yaitu novel Touch The Sky, Campus Puzzle, Chandra Kirana, Tanpa Gravitasi, dan buku pengembangan diri Titik 24: Ke Mana Perginya Mimpiku.  

Kata-kata ajaib yang disukainya adalah “The only thing that stands between a man and what he want from life is often merely they will to try it and the faith to believe that it is possible,” – Richard M.Devos- 

Masih kepo dengan manusia yang satu ini ? Ia bisa dihubungi melalui instagram @okti_setiyani08 dan email:oktisetiyani1999@gmail.com.    





Sabtu, 30 Agustus 2025

 K A R Y A

 

 MARJUDDIN SUAEB

                                                                                                                                                     

Guwa Kebon Awan-awan

 

 

Sumiyuting angin sumiyuting kapang.

Kapang kangen kapanane bali

Saliramu bali ana papan iki

 

Banyu mili anutupi lawang guwa

Anutupi rasa cidra. Sajatine trisna.

Trisna sajati tinutup banyu mili

 

Ilining lelakon kasandhung cobi.

Cobaning ngaurip sakloron

Ya ana iki papan bakal kaluwari.

 

Luwarana yayi kanthi janji

Kasineksenan banyu guwa.

Guwaning rusia jatining gesang

 

Yk2025juddins@

 

 

Lali Lali Lalekna Ilanging Lali

 

 

Lek kinelikan jroning barang sasar

Ywa suka serik runtrik saruwe sruwe

Tan rasa tan rumangsa kraso nora lena.

Lena luput kebacut atur sura.

 

Sura swara adigung adiguna

Kalenan robing segara panguasan

Kalepyaning milik anggendhong lali.

Mula dimula lalekna ilanging lali.

 

Ilanging ngeng gong tinabuh

Ilanging milik liyan saking lila.

Lega lila rasa neng

Wusanane ning nong ati

 

Yk2025juddins@


Marjudin Suaeb, adalah nama pena dari Drs. Marjudin Muhammad Jalal Sayuthi. Pendidikan terakhirnya di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Sering baca puisi dari kampung ke kampung, dari kampus ke kampus. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Menjadi narasumber berbagai kegiatan sastra. Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016) dan Teka Teki Abadi (Tonggak Pustaka, 2021). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulon Progo.

  K A R Y A   EVA NURUL KHASANAH   Pergi   Dari gedung-gedung bertingkat itu ku lihat kau hilang dalam keramaian diatas huru...