Pemberitahuan

Laman Sastra-Ku sedang dalam proses perbaikan, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Namun demikian, karya-karya tetap akan ditampilkan secara rutin.

Sabtu, 04 Juni 2022

K A R Y A

 

ISBEDY STIAWAN ZS


Terseret Jauh

 

sejauhjauh perjalanan,

air juga dalam pandangan

sejauhjauh menyisir daratàn,

laut dan sungai jadi pesisir

 

tapi, bagaimana keberadaan

air sekarang?

 

sumur yang bau karat

pakaian jadi kuning,

warna besi tua

 

siapa yang ulah?

"telah tampak kerusakan

di bumi kaŕena tangan

manusia," Tuhan mengingatkan

 

dan kita terus menggali tanah

               sedalamdalamnya

melubanginya jadi tambang

biarpun kelak kita bimbang

: tenggelam bersama!

 

ditimbun air yang

bergelombang amat besar

 

bah?

tsunami?

 

ah! aku dan kau sudah terseret jauh

bukan ke kapal nuh

 

bukan...

 

Maret 2022

 

Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020).

Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (Siger Publisher, 2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (Siger Publisher, 2021), Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit (Teras Budaya, 2021), Buku Tipis untuk Kematian (basabasi, 2021), Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang (Siger Publisher, 2022) dan Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan (Siger Publisher, 2022).

 

*****_____*****

 

EVA NURUL KHASANAH

 

Iqra

 

Langit mulai menguning

sambil memegang tuding

dibacanya perlahan hijaiyah

demi hijaiyah, menjadi fasih.

 

Mendahului beberapa bocah

yang menjauh dan berlari

mendekati tukang es keliling,

atau kembali ke pelukan umi.

 

Sama seperti dulu

nanti tiba giliran mu

seperti kini agar

rumah-rumah menjadi surga.

 

Lihatlah betapa jari-jari mungil

mereka tumbuh larik

demi larik dari buku iqra

dan berhasil tulus dan ikhlas.

 

Sidorejo, 02 Januari 2022

 

Eva Nurul Khasanah, lahir di Kulonprogo 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisi berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan oleh UKM Jurnalistik Persada UPY. Disela-sela kuliah ia masih menyempatkan untuk menulis, mengajar TPA, berorganisasi dan bekerja sebagai penjahit. Tinggal di Lendah Kulon Progo.

 

 *****_____*****

  

MERAWATI MAY

 

Jejak Kosong

 

Terus kucari dirimu

Walau letih sering meruntikkan asah

Namun rasa mengharuskan

Karena hati dan jiwaku

Pergi bersamamu

 

Tidakkah engkau merindukan

Kebahagian yang pernah kita raih

Meskipun tiada cahaya

Namun selalu membuka gairah

 

Ataukah memang telah kau temukan

Kehebatan yang lebih

Sehingga aku dan semua lagu

Hanyalah nyanyian masa lalu

Sunyi dan meletihkan

 

Terus kucari dirimu

Walaupun senja datang menjelang

Karena kau tautan hatiku

Meskipun aku tahu

Kau

Tak mungkin kembali

 

Bengkulu, 16022022

 

Merawati May, lahir di Mukomuko, 12 Mei 1978. Anak kelima dari sepuluh bersaudara ini menyelesaikan pendidikan jurusan ekonomi manajemen tahun 2001. Memiliki dua karya tunggal: Perjalananku (2016), Nasihat Ibu ( 2021). Dan berbagai buku antologi bersama, di antaranya: Kemarin, Sekarang, dan Nanti, 'antologi 6 tahun sonian (2021), Perempuan-perempuan Tanpa Topeng ( 2021),  Masa Kecil  ( 2021), Frasa di Langit Maya (2020), Para Penyintas Makna  ( 2021), Hidup Berdamai dengan Corona  ( 2021), Jalan Kenangan Ibuku ( 2021), Merah Putih Pelita ( 2021). Pernah masuk di majalah malaysia sebagai puisi terbaik: Lekat-lekat Memikat ( 2020), dan penulis dunia digital di ruang pekerja seni ( 2020-sekarang).

 

 *****_____*****


FARIDA NURHANDAYANI

 

Ruang kosong

 

Apa  salah masuk ruang berpenghuni tapi sunyi

ketuk terdiam. Tapi  nyaman di sana. Apa salah...

 

hanya ikuti arahnya 

tak yakin hanya sedikit genggam keyakinan 

nyaman di sana...

 

Kutelusur  lewati ruang itu..

Oh ruang yang kosong..

Tampak ramai riuh.... 

telusur...

Tapi sunyi...

kuketuk lagi....

hanya ada penghuni kosong.

 

Kulonprogo, 2022

 

Farida Nurhandayani, Lahir  di Kulon Progo, 28 Februari 19 74. Merupakan SGPLB ’95. Aktivitasnya sebagai  Therapis bengkel rogo untuk stroke, saraf kejepit, turun berok, reposisi tulang belakang,  kejantanan dll.

 

 

 

 

 

 

  

Sabtu, 28 Mei 2022

 K A R Y A

 

 AGOES ANDIKA, ASK.

 

Di Pantai Itu Aku Berkata

 

Bukan pertemuan membuatku tersenyum

kelahiran sudah mendahului

melihatmu sendiri menyusuri dermaga

lukisan lama tergantung tak berwarna

di pantai itu aku berkata

   "senja menjemput lebih awal, wajahmu

   samar tertutup bayangan"

 

jangan berpaling dari debur ombak ini

semasih perahu mengarungi gelombang

sebentar lagi matahari meninggalkan waktu

meniadakan cerita ini antara kita

di tanah melewati pesisir

tertunduk sepi tanpa menoleh

sebisanya aku berucap

      "maafkanlah"

 

rumah masa muda, 1985 –

 

Agoes Andika, Ask. Lahir di Br. Baleagung Singaraja Bali, 5 maret 1963, anak sulung dari tiga bersaudara. Menulis puisi sejak di bangku SLTP dan berlanjut saat menetap di Mataram tahun 1981, dibimbing oleh Putu Arya Tirtawirya dan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1987 pernah diundang membaca puisi di TIM Jakarta bersama penyair tanah air lainnya. Sejak 2017 menetap di Singaraja Bali.

 

 

*****_____*****

 

WAHID RIMBA

 

Halusinasi

 

Ketika terlihat burung malam terbang

Pulang mendekap dalam sarang

Walau diam tetap jalang

Mengusik kalbu tak tenang

 

 

Senja melaju menuju temaram

Selintas sinar penuh tatap menajam

Sepasang burung tangan bertilam

Sesak dalam cengkeram

 

 

Untuk kalian...

Puaslah penuh bergelimangan

Hapus kenangan

Merajam suci hasrat bertujuan

 

 

Terbenamlah matahari

Di ufuk barat kembali

Membawa janji dan mimpi

Di sini,di luka sekeping hati...

 

Kulonprogo, 230522

 

Wahid Agus Supriyanto adalah nama lengkap dari Wahid Rimba. Acap kali mendapat julukan  Pujangga Rimba.  Lahir di Kulon Progo 11 Maret 1978. Aktifitas sehari-harinya adalah Buruh Harian Lepas. Saat ini tergabung di Komunitas Padhang mBulan Brebeg Ethnika sejak kisaran pertengahan thn 2005. Karyanya berupa puisi/geguritan pernah dimuat di  Buletin Sastra "LONTAR" dan salah satu geguritannya  "nDleming” pernah di bacakan dalam salah satu acara Budaya di JOGJA TV oleh Sodhik TEKAPE. Pernah menjadi Pengisi Acara Reguler PUISIKU PUISIMU di Radio Andalan Muda bersama Grilyadi dan Janti. Beralamat di Rt 02/09 Durungan Wates, Kulon Progo.

 

 *****_____*****

 

SUYATRI YATRI

 

Kebiri Karya

 

Ach, jenuh aksara menantikan cahaya

Sinar pun enggan bermain diksi

Kekataku tawar berpasir

Terpangkas kandas larik

 

Ach, sakit bait jiwaku

Bernanah tubuh semantik

Kalimat rindu pun menyamar

Aku tiada daya terkubur di magma bumi

 

Penaku tak lagi bertinta

Karyaku tak lagi bersuara lantang

Semua jalan terbungkam

Suara hati melemah di tikungan kalah

 

Ujungbatu, 15 Januari 2022

 

Suyatri Yatri lahir di Padang Siminyak, 24 Agustus 1979, tinggal di Rokan Hulu Riau. Sudah banyak karya tergabung dalam antologi bersama dan juga karyanya terbit di media cetak dan on line. Buku kumpulan puisinya terbaru berjudul Mendulang Nusantara (PusakaKu, 2021). Pos_el. yatri.yatri03@gmail.com.

 

*****_____*****

 

 RIESSA

 

30 Oktober 2020

 

 30 Oktober 2020

Aku berjalan di tengah gundah

Saat meninggalkan jejak lama

Di kota tempat menghirup napas pertama

Berteman lelah

 

Sungguh menikam

Pedih kalbu

Tinggal di tempat baru

Mengikuti cerita baru

 

Andai prahara tak terjadi

Andai kedua kakiku masih bertahan

Andai keadaan tak seperti kenyataan

Beribu andai terus kusimpan dalam hati

 

30 Oktober 2020

Kututup diary usang

Di kota udang

Walau kadang ingin membuka kembali

Namun diaryku telah terkunci

Di tanggal 30 Oktober 2020

 

Surabaya 24 april 2022

 

Riessa Muljanto, lahir di Cirebon 30 Maret 1980. Saat ini tinggal di Jl. Rungkut  Mapan Tengah blok CH nomor 35 Surabaya.

Jumat, 20 Mei 2022

 

AIR MATA LEBARAN

Cerpen Okti Setiyani

 

“Bukan! Itu bukan ledakan kembang api, melainkan ledakan bom yang....”

             

            Wajah-wajah penuh kegembiraan mulai bermunculan saat matahari kembali ke peraduan. Dan  hilal –bulan sabit muda pertama--  telah terlihat. Azan magrib berkumandang. Disusul gema takbir yang menggetarkan jiwa mulai bersahut-sahutan di seluruh penjuru negeri. Suasana haru mengantar kepergian bulan penuh berkah –bulan Ramadan.

Tibalah penghuni bumi menyambut bulan Syawal. Bulan yang identik dengan saling memaafkan, kue-kue lebaran dan pakaian-pakaian yang indah. Tak lupa, suara yang mengagetkan, tetapi membuat langit yang ditaburi bintang seolah lebih hidup untuk sesaat. Ya, itulah ledakan kembang api yang menjadi hal biasa di saat-saat menuju lebaran.   

            Itu bukan cerita lebaranku, melainkan imajinasiku berdasarkan cerita salah seorang relawan yang datang ke pengungsian kami. Jujur saja suasana lebaran di negaranya dan negaraku sangat berbeda, benar-benar berbeda.

            Aku duduk bersandar di sebuah pohon besar berdaun lebat, membuat siapa saja yang duduk di bawahnya merasa nyaman dan sejuk. Pohon itu sudah tua, lebih dari umurku dan umur orang tuaku, mungkin pohon itu adalah sebuah saksi bisu atas kejadian yang sudah terjadi di tanah ini.  

Sejurus kemudian mobil ambulance muncul, memarkir di depan pengungsian yang dihuni lebih dari dua puluh lima orang itu. Pria-pria berjubah putih mulai menuruninya, mataku berbinar melihat seorang pria tinggi berkaca mata – Dokter Rizal. Ya, aku tidak sabar mendengar cerita tentang lebaran di kampungnya yang sejuk dan dikelilingi persawahan. Sangat berbeda dengan keadaan di sini, hanya ada sisa-sisa bangunan yang roboh, ladang yang hancur dan air mata.

            “Wah, pohon ini sejuk sekali....” ujarnya sambil berjalan menghampiriku.

            Aku tertawa dan mengangguk. “Benar sekali....”

            “Apa di negaramu banyak pohon seperti ini?” tanyaku penasaran, pasalnya sangat jarang pohon besar bertahan hidup di sini, selain tidak adanya air yang cukup, pohon besar sering kali terkena serangan bom.

            “Ya, banyak sekali....”

            “Dokter, sekarang coba cerita tentang lebaran....”

            “Baiklah, saat lebaran di kampungku sangat ramai. Keluargaku dari kota akan pulang kampung dan berkumpul di rumahku. Lalu, semua anak-anak muda akan berkumpul dan berjalan-jalan menuju rumah para tetua untuk meminta maaf. Kue-kue lebaran, tape, tempe dan lain sebagainya sudah menjadi hal biasa saat lebaran. Yah, aku jadi rindu dengan suasana di sana sekarang....”

            “Sepertinya tinggal di negaramu sangat nyaman, damai dan menyenangkan.” ujarku dengan rasa perih, pasalnya suasana di negaranya adalah apa yang selama ini negaraku inginkan, kedamaian.

            Pria berjubah puith itu tertawa kecil. “Ya, jujur saja bahwa saat aku berada di sini, aku baru sadar bahwa negaraku sangat damai....”

            Dokter Rizal menoleh padaku. “Apa saat lebaran keluarga-keluarga juga berkumpul?” tanyanya.

            “Ya, tetapi semua keluargaku sudah tiada.”

            Aku ingat beberapa tahun lalu, ketika semua keluargaku pergi dari tempat penuh air mata ini.

            *

            “Ayah…” teriakku saat bom itu jatuh dan meledak tepat di rumahku. Sedangkan aku hanya bisa menyaksikan pemandangan itu, terisak di atas ayunan di samping rumah. Dan tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Ya, satu demi satu keluargaku pergi dari tempat yang mengerikan ini.

Sebenarnya aku bahagia dengan kepergian mereka. Bukan bermaksud jahat, melainkan karena mereka sudah bahagia di alam sana. Tidak ketakutan lagi hidup di tempat penuh air mata ini. Aku sebenarnya ingin ikut mereka saja, namun Allah sudah memberikan kesempatan untukku hidup lebih lama. Mungkin Dia ingin aku mencari bekal dahulu sebelum menysul keluargaku. Baiklah!

            Di pengungsian ini, aku bertemu dengan mereka, anak-anak yang senasib sepertiku. Anak-anak yang masih ditakdirkan Allah untuk mencari bekal di dunia, demi menyusul keluarganya ke Surga.

 


Okti Setiyani
, gadis kelahiran 1999 ini adalah seorang guru di salah satu SMP di Kulon Progo. Ia menyukai menulis, membaca dan mengkhayal sejak semester satu perkuliahannya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang ini ia sudah memiliki 2 novel yang berjudul “Touch The Sky” dan “Campus Puzzle”, juga beberapa antologi cerpen dalam kompetisi menulis yang pernah diikutinya. Penulis dapat dihubungi melalui Email oktisetiyani1999@gmail.com dan Instagram @okti_setiyani08

Terbaru